Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : QASHASIL AL-QUR'AN

MAKALAH ULUMUL QUR’AN
 QASHASHIL AL QUR’AN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin, M.Ag








Disusun Oleh :
Kholifatun Nisa’ (1420210070)
ESRB-2



EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
2015







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Biasanya suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyingkap pesan-pesan dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang tertanam dalam hati. Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan dapat meraih apa yang dituju. Orang pun akan tidak bosan mendengarkan dan memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya. Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang mampu mempengaruhinya.
Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainnya dalam bahsa dan kesusastraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Quran telah membuktikan bahwa redaksi keraban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang tinggi nilainya.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qashashil Al-Qur’an?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan qashashil Al-Qur’an?
3.      Apa saja macam-macam qashashil Al-Qur’an?
4.      Bagaimana pengulangan kisah dalam Al-Qur’an?
5.      Bagaimana fungsi qashashil Al-Qur’an?
6.      Bagaimana pandangan ulama terhadap qashashil Al-Qur’an?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qashshashil Qur’an
Menurut bahasa kata qashshash berupa bentuk jamak dari kata qishah, yang berarti mengikuti jejak atau menelusuri bekas, atau cerita atau kisah. Didalam Alquran, kata qashshash juga mempunyai tiga arti tersebut, seperti terlihat dalam ayat 64 surah Al-Kahfi yang artinya “ Lalu keduanya mengikuti kembali jejak mereka sendiri “, dalam ayat ini lafal qashash berarti mengikuti jejak yang sama dengan menelusuri bekas. Lalu ayat 11 surah Al-Qashash yang  artinya “dan berkatalah Ibu Musa kepada saudari Musa. “ ikutilah dia “. Disini lafal qushi atau qashash berarti mengikuti. Ayat 62 surah Ali Imran yang artinya “ sesungguhnya ini adalah cerita yang benar “. Dan ayat 111 surah Yusuf yang artinya “ sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal “.
Menurut istilah, qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal umat-umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau,masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi atau para Rasul serta ikhwal Negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu.[1]

B.     Sejarah Perkembangan Qashshashil Qur’an
Kisah-kisah Al-Quran pada umumnya mengandung unsur pelaku, peristiwa, dan dialog. Ketiga unsur ini terdapat pada hampir seluruh kisah Al-Quran seperti lazimnya kisah-kisah biasa. Hanya saja peran ketiga unsure itu tidaklah sama, sebab boleh jadi salah satunya hilang. Satu-satunya pengecualian ialah kisah Nabi Yusuf, yang mengandung ketiga unsure itu dan berbagai menurut teknik kisah biasa. Cara semacam ini tidak ditemui pada kisah lain. Hal ini karena kisah Al-Quran pada umumnya bersifat pendek. Berikut ini merupan uraian lebih lanjut ketiga unsure itu.
1.      Pelaku
Pelaku kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Quran tidak hanya manusia, tetapi malaikat, jin, bahkan burung dan semut.
a.       Binatang seperti burung dalam kisah Nabi Sulaiman dan dalam surat An-Naml (27) ayat 18-19 yaitu semut sebagai pelakunya, dalam surat tersebut dijelaskan semut yang memperingatkan teman-temannya agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman dengan bala tentaranya. Contoh lainnya adalah burung hud-hud yang menjadi mata-mata bagi Nabi Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan Saba’ yang dipimpin Ratu Balqis. (QS. An-Naml (27) ayat 20)
b.      Malaikat
Contoh adalah kisah malaikat yang terdapat dalam surat Hud (11) ayat (69-83). Ayat itu mengisahkan bahwa malaikat-malaikat datang kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth dengan menjelma sebagai tamu. Demikian pula malaikat datang kepada Maryam dalam bentuk manusia. Sebagaimana dikisahkan dalam surat Maryam (10) ayat 10-21.
c.       Jin
Dalam kisah Nabi Sulaiman, jin digambarkan mempunyai bentuk lain yang gemanya dapat dilihat pada syair jahili sebelum Nabi Muhammas SAW, terutama syair-syair An-Nabighah. Dalam kisah ini, diantara jin-jin itu ada yang menjadi tukang selam, arsitek, pemahat, pembuat patung dan sebagainya, seperti dijelaskan pada surat Saba’ (34) ayat 12.
d.      Manusia
Dalam kisah-kisah Al-Quran yang pelakunya berupanya berupa manusia, lebih banyak diceritakan tentang laki-kisah dari pada wanita. Di antara mereka adalah para nabi, orang biasa (seperti Firaun), dan lainnya. Adapun pelaku kisah dari kalangan wanita adalah Maryam dan Hawa. Perlu dicatat bahwa perempuan dalam Al-Quran selalu disebut dengan kata “orang perempuan“ (imra’ah), baik sudah menikah maupun belum, sebagaimana dapat dilihat pada surat An-Naml (27)  ayat 23, atau kata “perempuan  nuh“, “perempuan Ibrahim”, dan sebagainya.
Satu-satunya pengecualian dalam hal ini adalah Maryam yang disebutkan namanya dengan jelas. Hal ini dikarenakan factor tertentu, yakni Nabi Isa telah dianggap oleh sebagian umatnya sebagai “Putra Allah”. Al-Quran lalu berusaha menghapuskan anggapan yang salah ini dengan cara menjelaskan bahwa Isa adalah “anak Maryam” dan bahwa ia dilahirkan dalam keadaan tak berayah, seperti halnya Nabi Adam. Oleh karena itu, Al-Quran menyebut nama Maryam berulang ulang.
2.      Peristiwa
Hubungan antara peristiwa dengan pelaku pada setiap kisah amatlah jelas karena kedua hal itu merupakan unsure-unsur pokok suatu kisah. Tidak dapat dibayangkan adanya pelaku tanpa peristiwa yang dialaminya. Peristiwa itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian :
a.       Peristiwa yang berkelanjutan
Misalnya, seorang nabi diutus kepada suatu kaum, kemudian mereka mendustakannya dan meminta ayat-ayat (bukti) yang menunjukkan kebenaran dakwah dan kerasulannya. Kemudian datanglah ayat (bukti) yang mereka minta, tetapi mereka tetap saja mendustakannya.
b.      Peristiwa yang dianggap luar biasa
Yaitu peristiwa-peristiwa yang didatangkan Allah melalui para rasul-Nya sebagai bukti kebenarannya, seperti mukjizat-mujizatnya para Nabi.
c.       Peristiwa yang dianggap biasa
Yaitu peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh, baik rasul maupun bukan, sebagai manusia biasa yang makan dan minum.
3.      Percakapan (Dialog)
Tidak semua kisah mengandung percakapan, seperti kisah yang bermaksud menakut-nakuti, tetapi ada pula kisah yang sangat menonjol percakapannya seperti kisah Nabi Adam as dalam surat Al-A’raf (7) ayat 11-25, surat Thaha (20) ayat 9-99, dan lainnya.
Terkadang Alqur’an menceritakan kejadian manusia pertama Nabi Adam dan kehidupannya, menerangkan kenikmatan surga dan siksaan neraka diakhirat, sebagaimana sering menjelaskan tugas dan nama-nama para malaikat serta keadaan hari kiamat dan sebagainya.
Kisah-kisah itu sering didengarkan oleh bangsa Arab dan pakar-pakar sejarah dari berbagai bangsa yang lain, dari para ahli kitab, orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang kafir Quraisy. Bagi orang-orang kafir, cerita-cerita Alqur’an itu menjadi bahan fitnahan dan tertawaan, sedangkan bagi orang mukmin menambah keimanan.
Tetapi orang-orang musyrik Quraisy mempermasalahkan kisah-kisah Alqu’an itu. Mereka menanyakan, dari mana Muhammad mempunyai pengetahuan sejarah yang begitu luas? Padahal dia hidup di lingkungan bangsa yang kebanyakan ummi, tidak pandai menulis dan membaca. Apakah ada malaikat yang turun mengajari Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul? Seolah-olah orang Quraisy tidak mengenal beliau sebelum menjadi Nabi atau Raasul selama 40 tahun lamanya.
Sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy tersebut sudah mengenal Nabi sejak kecil. Mereka mengenal Muhammad sebagai orang yang mendapat julukan al-amin (orang yang terpercaya). Apakah mengherankan kalau kemudian dia diajari Allah Dzat Yang Maha Mengetahui, sehingga dalam Alqu’an banyak kisah-kisah Nabi yang dahulu.[2]

C.     Macam-macam Qashshashil Qur’an
1.      Dilihat dari Sisi Pelaku
Manna’ Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah) Al-Quran dalam tiga bagian, yaitu :
a.       Kisah para nabi terdahulu
Bagian ini berisikan ajakan para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat dari Allah yang memperkuat dakwah mereka, sikap orang-orang yang memusuhinya, serta tahapan-tahapan dakwah, perkembangannya, dan akibat yang menimpa orang beriman dan orang yang mendustakan para nabi. Contohnya adalah kisah Nabi Nuh , Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya.
b.      Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya
Seperti kisah orang-orang yang keluar dari kampong halamannya, Thalut dan Jalut, anak-anak Adam, penghuni gua, Dzulkarnain, Qarun, Ashab As-Sabti (para pelanggar ketentuan hari Sabtu), Maryam, Ashab Al-Ukhdus, Ashab Al-Fiil (Pasukan Abrahah yang berkendaraan kuda ketika menyerang Ka’bah), dan lain-lain.
c.       Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah
Seperti kisah perang Uhud, Tabuk, Badar, kisah hijrah Rasulullah dan pengikutnya ke Madinah, Isra’ dari masjid Al-Haram ke Al-Aqsa dan sebagainya.
2.      Dilihat dari Panjang Pendeknya
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Quran dapat dibagi dalam tiga bagian :
a.       Kisah panjang contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12) yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanaknya sampai dewasa dan memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash (28), kisah Nabi Nuh dan kaumnya dalam surat Nuh (71) dan lain-lain.
b.      Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam (19), kisah Ashab Al-Kahfi pada surat Al-Kahfi (18), kisah Nabi Adam dalam surat Al-Baqarah (2) dan surat Thaha (20), yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
c.       Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf (7) kisah Nabi Shalih dalam surat Hud (11), dan lain-lain.
3.      Dilihat dari jenisnya
Menurut M. Khalafullah, dilihat dari segi jenisnya kisah-kisah Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.       Kisah sejarah, yakni kisah yang berkisar tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b.      Kisah perumpamaan, yakni kisah yang menyebutkan suatu peristiwa untuk menerangkan dan memperjelas suatu pengertian. Peristiwa itu tidak benar-benar terjadi, tetapi hanya perkiraan dan khayalan semata.
c.       Kisah asatir, yakni kisah yang didasarkan atas suatu asatir. Pada umumnya, kisah semacam ini bertujuan mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menfsirkan, gejala-gejala yang ada, atau menguraikan sesuatu persoalan yang sukar diterima akal.
Dalam versi lain, Muhammad Qutub membagi kisah Al-Quran dalam tiga macam, yaitu :
a.       Kisah lengkap yang memuat tempat, tokoh dan gambaran peristiwa yang berlaku serta akibat yang timbul dari hal tersebut, seperti kisah Nabi Musa dan Fir’aun.
b.      Kisah yang hanya menggambarkan peristiwa yang terjadi, tetapi tidak mengungkapkan nama tokok pelaku atau tempat berlangsungnya peristiwa, seperti kisah kedua putra Nabi Adam as.
c.       Kisah yang diutarakan dalam bentuk percakapan atau dialog tanpa menyinggung dan tempat kejadian. Misalnya, kisah dialog yang terjadi antara seorang kafir yang memiliki dua bidang kebun yang luas dan kekayaan yang berlimpah dengan seorang mukmin.[3]
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an bermacam-macam ada yang menceritakan para Nabi dan umat-umat dahulu, dan ada yang mengisahkan berbagai macam peristiwa dan keadaan, dari masa lampau,masa kini,ataupun masa yang akan datang.
1.      Ditinjau dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Alqur’an, maka qashshashil Qur’an itu ada tiga macam, diantaranya :
a.       Kisah hal-hal ghaib pada masa lalu
Yaitu, kisah yang menceritakan kejadian-kejadian ghaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indera, yang terjadi dimasa lampau. Contohnya seperti kisah-kisah nabi Nuh, Nabi Musa, dan kisah Maryam.
b.      Kisah hal-hal ghaib pada masa kini
Yaitu, kisah yang menerangkan hal-hal ghaib pada masa sekarang, (meski sudah ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik. Contohnya seperti kisah yang menerangkan tentang Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, dan siksaan neraka, kenikmatan surga, dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut dari dahulu sudah ada, sekarang pun masih ada dan hingga masa yang akan datang pun masih tetap ada.
c.       Kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang
Yaitu, kisah yang menceritakan peristiwa akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya Alqur’an, kemudian peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Karena itu, pada masa sekarang ini, berarti peristiwa yang dikisahkan itu telah terjadi. Contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas Persia, yang diterangkan ayat 1-2 surah Ar-Rum. Dan seperti mimpi Nabi bahwa beliau akan dapat masuk Masjidil Haram bersama para sahabat, dalam keadaan sebagian mereka bercukur rambut dan yang lain tidak. Pada waktu perjanjian Hudaibiyah, Nabi gagal masuk Mekkah, sehingga diejek orang-orang Yahudi, Nasrani, dan kaum Munafik, bahwa mimpi Nabi itu tidak terlaksana. Contoh lain seperti jaminan Allah terhadap kselamatan Nabi Muhammad SAW dari penganiayaan orang, meski banyak orang yang mengancam akan membunuhnya.
2.      Ditinjau dari Segi Materi
Jika ditinjau dari segi materi yang diceritakan, maka kisah Alqur’an itu terbagi menjadi tiga macam, sebagai berikut :
a.       Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka. Contohnya, seperti kisah Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW dan lain-lain.
b.      Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu. Contohnya seperti kisah Luqmanul hakim, Qarun, Thaluth, Yaqut, Ashabul Kahfi, Ashabul Fiil, Ashabus Sabti, dan lain-lain.
c.       Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian dizaman Rasulullah SAW. Contohnya seperti kisah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah dam Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

D.    Pengulangan kisah dalam Al-Quran
Al-Quran banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu :
1.      Kisah Iblis tidak mau tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11, surat Al-Hijr (15) ayat 31, surat Al-Isra’ (17) ayat 61, surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat 74.
2.      Kisah Kaum Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81, surat Hud (11) ayat 78, surat An-Naml (27) ayat 54-55, surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
3.      Kisah istri Nabi Luth yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83, surat Hud (11) ayat 81, surat Al-Hijr (15) ayat 60, surat Asy-Syura (26) ayat 171, surat An-Naml (27) ayat 57.
4.      Kisah Nabi Musa dan tongkatnya : surat Al-Baqarah (2) ayat 60, surat Al-A’raf (7) ayat 107 dan 117, surat Thaha (20) ayat 18, 20 dan 22, surat Asy-Syura (26) ayat 63, surat An-Naml (27) ayat 10, dan surat Al-Qashash (28) ayat 31.
5.      Kisah percakapan Nabi Musa dengan Fir’aun: surat Al-A’raf (7) ayat 104-106, surat Thaha (20) ayat 49-53, 57, 58.
6.      Kisah malaikat yang bertamu ke rumah Nabi Ibrahim: surat Hud (11) ayat 69-76, surat Al-Hijr (15) ayat 51,-58, dan surat Adz-Dzariyyat (51) ayat 24-29.
7.      Kisah percakapan Nabi Ibrahim dengan bapaknya: surat Al-An’am (6) ayat 74, surat Maryam (19) ayat 42, 43, 45, 46, 47, 48, surat Al-Anbiya (21) ayat 62, surat Asy-Asyura (26) ayat 70-82, dan surat Ash-Shaffat (37) ayat 85.
8.      Kisah Nabi Ibrahim menerima kelahiran Ishaq: surat Hud (11) ayat 71, surat Ash-Shaffat (37) ayat 112, 113, surat Adz-Dzariyyat (51) ayat 28.
9.      Kisah Nabi Sulaiman dapat menundukkan angin: surat Al-Anbiya (21) ayat 81, surat Shad (38) ayat 36, dan surat Saba’ (34) ayat 12.
10.  Kisah orang Yahudi yang menyembah sapi: surat Al-Baqarah (2) ayat 51, 92, 93, surat An Nisa’ (4) ayat 153, surat Al-A’raf (7) ayat 148, surat Thaha (20) ayat 88.
11.  Kisah Ya’juj dan Ma’juj: surat Al-Kahfi (18) ayat 94, surat Al-Anbiya (21) ayat 96.

Dalam hal ini, Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah pengulangan kisah-kisah Al-Quran sebagai berikut:
1.      Menjelaskan ketinggian kualitas Al-Quran
Di antara keistimewaan suatu bahasa adalah pengungkapan suatu makna dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Kisah yang berulang itu diceritakan kembali di setiap tempat dengan gaya dan pola yang berbeda sehingga tidak menyebabkan kejenuhan. Bahkan, pengulangan itu dapat menambah arti baru yang tidak didapatkan pada tempat lain.
2.      Memberikan perhatian yang besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa
Sesunggunya pengulangan ini merupakan salah satu cara menggolongkan dan menunujukkan perhatian yang besar. Hal itu umpamanya dapat dilihat dalam kisah Nabi Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan pertentangan antara kebenaran dan kebatilan dalam format penyajian yang sempurna walaupun sering diulang-ulang.
3.      Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Quran
Yaitu menyebutkan suatu makna dalam berbagai bentuk susunan. Ini membuktikan bahwa Al-Quran datang dari Allah dan juga memperlihatkan suatu tantangan.
4.      Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut
Meskipun kisah-kisah Al-Quran mengalami banyak pengulangan, penyebutan kisah-kisah tersebut pada tiap tempat berbeda-beda.

E.     Faedah Qashashil Al-Quran
Banyak faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang diutarakan Manna Al-Qaththan berikut ini.
1.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya.
2.      Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.
3.      Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4.      Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5.      Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu, kisah-kisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan direduksi.
6.      Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa.

F.     Pandangan para ulama terhadap qashashil Al-Quran
Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah persoalan penting yang harus dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam Al-Quran yang menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara umum bagi siapa saja? Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusu atau umum?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman redaksi, bukannya kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golonga lain. Ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman bin Shakhar, ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kisah tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus trsebut diterapkan pula terhadap peristiwa lain yang serupa.
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah tertentu, bahkan menunjuk pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya, surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan bahwa perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.
Penjelasan mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri, dikemukakan pula oleh Kuntowijoyo, Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi. Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya, menggambarkan tipe sempurna mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan archetype mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Shaleh lebih menggambarkan archetype mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Ungkapan yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam Al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa atau pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran bagi umat manusia.
Thaha Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan sekularistik, lebih tertarik membahas apakah pelaku-pelaku kisah didalam Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan semata. Dengan mengambil contoh kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:
“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan tetapi, munculnya kedua nama tokoh itu dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab di satu pihak, serta agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak yang lain.”
Tidak hanya itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang kemudian mengembangkan bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka, wajarlah jiksa para ulama konsevatif menganggap gagasan-gagasannya itu sebagai usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah menuduhnya keluar dari Islam.
Benang merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal terpenting dari kisah-kisah yang terdapat Al-Quran bukanlah wacana pelakunya, tetapi drama kehidupan yang mereka mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad Abduh mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al-Quran, terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.








BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
Menurut istilah, qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal umat-umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau,masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi atau para Rasul serta ikhwal Negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu. Macam-macam qashash yaitu, kisah hal-hal ghaib pada masa lalu, kisah hal-hal ghaib pada masa kini, kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang. Beberapa faedah dari qashashil Quran yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi, membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka, memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
































DAFTAR PUSTAKA

1.      Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2006)
2.      Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia,2000)




[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, hlm 386-387
[2] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, hlm 72
[3] Rosihon Anwar, Op.cit., hlm 72

No comments:

Post a Comment