Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : ISRO'ILIYYAT

Makalah
Isro’iliyyat
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin, M.Ag




Disusun oleh :
Iwan Bachtiar Asrori (1420210076)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
            Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya yang dibawa oleh Penutup Para Nabi Muhammad SAW.dengan berpegang pada kitab suci al-Qur’an yang merupakan satu-satunya kitab samawi yang Allah janjikan keutuhan dan keotentikan kebenarannya hingga akhir zaman. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi
               إِنَّا نحنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا له لحَافِظُوْنَ.

            Allah telah menurunkan empat kitab samawi serta banyak  mushaf kepada Nabi dan Rasul-Nya. Yang kesemuanya memiliki beberapa kesamaan dalam pembahasannya. Namun seiring berjalannya waktu, kitab-kitab terdahulu telah banyak berubah disebabkan tangan-tangan pemegangnya yang tidak bertanggung jawab dan  kepentingan pribadi yang penuh syahwat duniawi. Karena itu, hanya satu kitab samawi yang masih terjaga keutuhannya hingga saat ini, yaitu kitab suci al-Qur’an al-Karim.
            Sebagai sumber utama syariat islam, al-Qur’an mendapat perhatian penting oleh penganutnya. Semua penganutnyapun ingin hidup seutuhnya berdasarkan tuntunan yang tremaktub di dalamnya.Namun, bahasa Tuhan yang begitu agung sulit dipahami seutuhnya oleh hamba-Nya yang terlalu jauh dari sempurna.Karenanya dibutuhkan pentafsir atau penjelas untuk mempermudah memahaminya dan mengaplikasikan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Baik berupa penjelasan yang dijabarkan oleh Rasulullah SAW ataupun kalam sahabat dan alim ulama yang ‘amiq ilmu pengetahuannya.
            Maka muncullah sebuah alat pembantu untuk memahaminya yang bernama Tafsir al-Qur’an. Tafsir ini merupakan alat pembantu yang sangat membantu muslim awam untuk memahami kitab sucinya dengan baik.
            Dibalik keistimewaan ilmu tafsir yang dapat mempermudah manusia untuk memahami al-Qur’an dengan baik dan benar, terdapat beberapa hal yang juga dapat menjerumuskan pembaca dan peminatnya pada kesalahan yang jauh menyimpang dari syari’at.Hal ini disebabkan karena banyaknya riwayat-riwayat israiliyyat yang masuk ke dalam tafsir al-Qur’an.
            Terkontaminasinya tafsir al-Qur’an dengan riwayat israiliyyat mempunyai beberapa faktor dan juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keimanan seseorang. Karenanya kita harus mengetahui dan harus bisa membedakan agar kita tidak salah dalam memahami kitab suci al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat islam.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Isro’iliyyat ?
2.      Bagaimana sejarah munculnya Isro’iliyyat ?
3.      Sebutkan macam-macam Isro’iliyyat ?
4.      Apa pendapat ulama tentang Isro’illiyyat ?
5.      Apa fungsi mempelajari Isro’illiyyat ?















BAB II
PEMBAHASAN
1.            Pengertian Israiliyyat
Kata israiliyyat adalah bentuk jama’ israiliyyah. Ada beberapa pengertian yang di pakai untuk menjelaskan arti israiliyyat, namun secara umum pengertian israiliyyat adalah kisah atau berita yang diriwayatkan dari sumber-sumber yang berasal dari orang Isroil. Isroil (bahasa Ibraniyah: isra artinya hamba dan il artinya Tuhan/Allah) merupakan gelar yang diberikan kepada nabi Yakub bin Ishaq bin Ibrahim. Maka Bani Isroil adalah sebutan untuk anak keturunan nabi Yakub. Nama ini kemudian di hubungkan dengan Yahudi, sehingga orang-orang Yahudi disebut juga Bani Isroil.
Para ulama menggunakan istilah Israiliyyat untuk riwayat yang di dapat dari orang-orang Yahudi atau Nasrani, baik berupa kisah-kisah atau dongengan yang umumnya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaan umat islam pada masa lampau dan berbagai hal yang pernah terjadi pada para nabi dan Rosul, serta informasi tentang penciptaan manusian dan alam. Selanjutnya istilah Israiliyyat juga di tujukan untuk penafsiran kisah-kisah dalam al-Quran yang tidak diketahui sumber dan asal usulnya, atau di sebut juga al-dhakil, yang banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir lama.
Israiliyyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara al-Quran dengan Turat dan Injil dalam sejumlah masalah, khususnya mengenai kisah-kisah umat terdahulu, di mana dalam al-Quran di kisahkan secara singkat (ijaz), namun dalam kitab-kitab sebelumnya di bahas secara panjang lebar (ithnab).
Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat.
a). Menurut adz-Dhazabi israiliyyat mengandung dua pengertian ;
Pertama, kisah dan dongeng yang di sususpkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatanya kembali kepada sumbernya yaitu, Yahudi, Nasrani dan yang lainya
Kedua, cerita-cerita yang sengaja di selundupkan oleh musuh-musuh islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak di jumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
b). Menurut asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil di selundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian di serap oleh umat islam.
c). Menurut Sayyid Ahmda Khalil mendefinisikan israiliyyat dengan riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan engan agama mereka amaupunn yang tidak ada hubunganya sama sekali.
Penisbahan riwayat israiliyyat kepada orang orang yahudi karena para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk islam.

2.            Sejarah Israilliyat
Israiliyat masuk ke bangsa Arab diperkirakan tahun 70 M, yaitu sebelum Islam datang. Pada saat itu orang-orang Ahli Kitab yaitu Yahudi telah melakukan migrasi ke Jazirah Arab untuk menghindari penyiksaan dan kebrutalan yang dilakukan kaisar Titus Romawi yang hendak menjajahnya dengan membakar dan menghancurkan Yerussalem. Mereka datang ke Jazirah Arab dengan membawa kebudayaan dan keyakinan agama yang bersumber dari kitab-kitab mereka. Selain itu, orang-orang Arab pra-Islam pun sering melakukan perjalanan untuk berniaga ke negeri Yaman pada musim dingin dan ke negeri Syam pada musim panas. Di kedua kota inilah banyak berdiam para Ahli Kitab. Sehingga sangat memungkinkan terjadi interaksi dan komunikasi. Sebagai konsekuensi akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan tersebut, maka Israiliyat dan pengetahuan Yahudi berkembang di tengah-tengah masyarakat bangsa Arab dan sebaliknya kaum Yahudi juga memperoleh pengetahuan dari orang-orang Arab. 

Interaksi dan komunikasi antara orang-orang Arab dengan kaum Yahudi terus berlanjut hingga Islam datang. Perkembngan Islam semakin pesat ketika Nabi hijrah ke Madinah. Disanalah Nabi dan pengikutnya diterima dengan baik oleh kaum Anshar. Di Madinah inilah banyak menetap kelompok Yahudi, seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraidzah, Bani Al Nadir, suku Khazraj, Khaibah, Fadak, suku Aus, dll. Antara umat Muslim dengan kaum Yahudi dapat hidup berdampingan, sehingga mereka bisa saling bertukar informasi mengenai berbagai masalah keagamaan ataupun masalah lainnya. Bahkan, orang-orang Yahudi sering bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai kebenaran beliau sebagai Nabi dan utusan Allah. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab Rasulullah dengan berbagai bukti sehingga meyakinkan mereka yang bertanya akan kebenaran Allah dan utusanNya. 
Ada beberapa pendapat lain yang menyatakan tentang masuknya Israiliyat dalam Islam :
1.      Semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka yang masuk Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut lebih dahulu, sehingga pemahamannya sering tercampur antara ajaran Islam dengan ajaran terdahulu. Disamping itu, bangsa Arab tidak banyak tahu perihal kitab-kitab terdahulu. Jika mereka ingin tahu tentang kejadian penciptaan alam atau kejadian penting lainnya yang tidak dijelaskan secara rinci di dalam al-Qur’an,  mereka bertanya kepada Ahli Kitab. 
2.      Adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi. Maka, muncullah kelompok mufassir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah Israiliyat tersebut dalam penafsiran mereka terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur’an. Akibatnya, tafsir itu penuh dengan kesimpang siuran, bahkan mendekati khurafat dan tahayul.
3.      Adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, Wahab bin Munabih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Para ulama saling berbeda pendapat dalam mempercayai Ahli Kitab tersebut. Pertentangan yang paling sengit adalah tentang Ka’ab Al Ahbar. Sedangkan Abdullah bin Salam adalah orang yang paling tinggi kedudukannya, sehingga imam Bukhori sering meriwayatkan hadisnya.
Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa pada mulanya Isra’iliyat masuk ke dalam tafsir ketika para sahabat ingin berargumentasi dengan sumber yang berasal dari Yahudi atau Nasrani mengenai kebenaran risalah Nabi SAW. Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat hanya untuk menyatakan keterangan guna menentang Ahli Kitab tersebut. Dalam hal ini, para Ahli Kitab terkadang memaparkan rincian kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti kisah yang terdapat dalam kitab mereka. Sehingga para sahabat cukup berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan. Sesuai dengan pesan Rasulullah
“Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami….” (HR. Bukhari)
Para sahabat akan menerima rincian dari kisah-kisah Israiliyat dalam dialog dengan Ahli Kitab, sejauh tidak menyentuh masalah akidah dan hukum. Perincian kisah-kisah yang diterima, terkadang diceritakan juga oleh para sahabat, hal tersebut diperkenankan.

3.            Macam- macam Israilliyat
Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu
yaitu israiliyat yang bisa dibenarkan isinya, yaitu apabila isinya sesuai dengan kandungan alquran dan sunah nabi.  Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaatkan dari Ibnu Mas’ud dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah SAW, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi SAW sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau SAW karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau SAW membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:       
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ.
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” {QS. Al-Zumar (39): 67}
2.      Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan
bahwa kisah tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu yang jelas isinya bertentangan dengan Alquran dan sunah atau jelas kebohongannya dan kekhurafatannya. Maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:yaitu israiliyat
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” {QS. Al-Baqarah (2): 223}
3.      Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu
yaitu israiliyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya. Yang seperti ini tidak perlu diyakini atau didustakan dan kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah:
 آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ  
(Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”
Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.
Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah , dia berkata, Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”
Sedangkan israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Cerita shahih (benar), contohnya apa yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: Dari Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kamu Mutsani dari Usman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin Ali dari Atha bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: ceritakanlah olehmu tentang sifat Rasulullah Saw. yang diterangkan di dalam Kitab Taurat! Ia berkata: Ya demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam Alquran: Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan”, dan pemelihara orang-orang yang ummi. Engkau adalah hambaKu dan rasulKu, namamu yang dukagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan “Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya kecuali Allah...dst.” Imam Ibnu Katsir telah mengaitkan riwayat ini dengan pernyataannya: Bahwasannya Imam Bukhari telah meriwayatkan berita ini dalam kitab shahihnya Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, ia menceritakan sanadnya, seperti yang telah disebutkan, tetapi ia menambah setelah ucapannya “Bahwa Nabi itu tidak kasar dan keras” yaitu ucapannya “Dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar-pasar, ia tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni.”
2.      Cerita dhaif (palsu), contohnya adalah atsar yang diriwayatkan oleh al Razi dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Q.S. Qaf (50), ia berkata: Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar gharib dan tidak shahih, ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, ketika menafsirkan:
وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ.        
Dan laut, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya” {QS. Luqman (31):27} 
Dalam atsar itu disebutkan: Ibnu Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat berita dari Muhammad bin Ismail al Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Laits bin Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Allah Swt. telah menciptakan di bawah ini laut melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan dia atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di bawahnya ia menciptakan sebuah gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.

4.                  Pendapat  Ulama Tentang Isro’iliyyat
            Dengan adanya beberapa cerita isro’iliyyat dalam al-Qur’an  maka terdapat beberapa ulama juga mengeluarkan maklumat dalam  menyikapi cerita-cerita isro’iliyyat  tersebut seperti Ibn Taimiyah, Baqai, Ibn Arabi dan lain sebagainya. Berikut kami uraikan hukum-hukum yang dikelurakan oleh ulama-ulama di atas :
a.       Ibn Taimiyah
Dalam kitab ilmu tafsirnya ushul al-tafsir, Ibn Taimiyah bahwa cerita-cerita isro’iliyyat  boleh saja dipakai akan tetapi hanya sebagai saksi dan bukan untuk diyakini dari beberapa kriteria aspek kehidupan manusia.
b.      Baqai
Menurut Baqa’i ini dalam al-Anwar al-Qawimah fi Hukmil al-Naql-nya dijelaskan bahwa isro’iliyyat ini diperbolehkan walaupun tidak dibenarkan atau tidak didustakan dengan tujuan hanya ingin mengetahui, bukan dijadikan pegangan.
c.       Ibn Arabi
Berbeda dengan Baqa’i, Ibn Arabi memaklumatkan tentang isro’iliyyat ini hanya boleh diriwayatkan dan yang boleh dimuat dalam tafsir-tafsir hanya sebatas cerita-cerita yang menyangkut atau bersinggungan dengan keadaan nabi sendiri, sedangkan kalau cerita orang lain perlu dipertanyakan dan membutuhkan dan memerlukan penelitian yang lebih cermat.
d.                  Ibn Katsir
Ibn Katsir sendiri mempunyai tiga kriteria dalam menghukumi cerita-cerita isro’iliyyat ini diantaranya:
1)      Cerita yang sesuai dengan al-Qur’an, hal itu benar dan boleh digunakan dengan catatan hanya sebagai bukti bukan dijadikan hujjah (pegangan).
2)      Cerita yang terang-terangan dusta karena menyalahi ajaran Islam, maka hukumnya harus ditinggalkan atau dibuang. Karena merusak aqidah dan syari’at Islam.
3)      Cerita yang didiamkan dimana cerita yang tidak ada dalam kebenaran al-Qur’an, akan tetapi, tidak bertentangan dalam al-Qur’an. Cerita ini boleh dipercaya tapi tidak boleh dijadikan pegangan. (hujjah)
e.                   Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas
Kedua ulama’ ini biasa meriwayatkan cerita-cerita isro’iliyyat dari tokoh-tokohnya sendiri seperti Ka’ab al- An Bari, Wahab bin Munabah, Abdullah bin Salam dan Tamim al-Dari. Maka kedua ulama’ ini mempunyai hukum boleh mengambil cerita isro’iliyyat  baik meriwayatkan dan memuatnya dalam tafsir.
f.                   Abdullah bin Amru bin al-Ash
Abdullah bin Amru ini menghukumi mubah dari cerita-cerita isro’iliyyat  ini tetapi, bukan untuk i’tiqad dan dasar hukum, tapi hanya sebagai ihtishad.[1]

5.                   Fungsi Mempelajari Isro’iliyyat menurut Al-qur’an
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa al-Quran adalah sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan, bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah manuskrip langit yang paling otentik, yang telah dijamin oleh Allah SWT. akan terjaga dari berbagai bentuk pemalsuan dan perubahan.
Perhatian dan kecintaan kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangatlah besar. Al-Qur’an tidak hanya dibaca dan dihafal oleh jutaan kaum muslimin di setiap masa. Namun juga dipelajari, mulai dari bagaimana cara membaca makhraj dan hurufnya, cara  penulisan (rasam) al-Qur’an, cara menafsirkan, sampai kepada  hal yang paling kecil, seperti menghitung jumlah surah, ayat, kata, bahkan huruf-huruf dalam al-Qur’an. Bahkan sekarang kaum muslimin sudah mulai menggali kemu’jizatan al-Qur’an yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di antara usaha yang dilakukan kaum muslimin untuk mempelajari al-Qur’an adalah melalui pemahaman dan tafsir. Para ulama mencurahkan perhatian dalam tafsir al-Qur’an ini dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah, sehingga al-Qur’an dapat difahami dengan baik dan diamalkan  dengan benar.
Paling tidak ada tiga istilah yang dipakai para ulama untuk menyebut aliran yang dipakai oleh para ulama mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu tafsir bi al-riwayat, disebut juga tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi-al-manqul (menafsirkan al-Qur’an  berdasarkan riwayat dari Rasulallah, Sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in ), yang kedua tafsir bi al-dirayah, disebut juga tafsir bi al-ra’yi wa al-ijtihad atau tafsir bi al-ma’qul ( menafsirkan al-Qur’an dengan bersandarkan kepada dirayat yaitu rasio dan olah pikir serta penelitian terhadap kaidah-kaidah bahasa), dan tafsir bi al-isyarat atau tafsir isyari (disandarkan kepada tafsir sufiyah, yaitu menafsirkan al-Qur’an bukan dengan makna dzahirnya, melainkan dengan suara hati nurani).
 Para sahabat umumnya memakai tafsir bi al-ma’tsur dari pada tafsir bi al-ra’yi, sebab mereka sangat berhati-hati dari menjelaskan al-Qur’an berdasarkan pendapat pribadi. Para ulama sepakat bahwa tafsir bi al-ma’tsur ini dianggap sebagai metode tafsir yang paling utama dan lebih selamat dari berbagai kemungkinan penyimpangan. Namun demikian bukan berarti tafsir dengan riwayat ini tidak ada sisi kelemahannya. Diantara kelemahan tafsir bi al-ma’tsur adalah adanya riwayat yang dhaif, mungkar dan maudhu dari riwayat yang disandarkan kepada  Rasulallah, sahabat dan tabiin. Termasuk juga masuknya riwayat-riwayat israiliyyat, yang sulit dideteksi kebenarannya, meskipun riwayat israiliyyat ini pada umumnya sekedar kisah yang menjelaskan  sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara detil.
Keberadaan riwayat-riwayat israiliyyat dalam kitab-kitab tafsir dikhawatirkan dapat menimbulkan khurafat dan dapat merusak aqidah islamiyyah. Disamping itu kisah-kisah israiliyyat tersebut membuka celah bagi para musuh Islam untuk mengatakan bahwa ajaran Islam adalah agama ciptaan Muhammad yang dipadukan dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Dan bahwa al-Qur’an adalah kitab karangan Muhammad, disebabkan isinya yang banyak membincang tentang kaum-kaum dan nabi-nabi terdahulu yang juga terdapat dalam kitab Taurat dan Injil.
Permasalahan tentang riwayat israiliyyat, sesungguhnya telah menjadi suatu tema bahasan yang sudah secara panjang lebar  dibahas oleh para ulama. Makalah yang sangat terbatas ini hanya sekedar menghimpun dan mengulang  segala yang telah dibahas dalam banyak kitab dan risalah tentang israiliyyat tersebut.[2]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya pengaruh Israiiliyat terhadap ilmu Tafsir adalah untuk memahami al-Qur’an. Karena itu tafsir al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar.Namun,ilmu tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak berharga lagi ketika terkontaminasi dengan hal yang merusak keabsahan dan kebenarannya,dan akan merusak bagi kalangan yang awam yang tidak mengetahuinya.
Tapi,Para ulama yang berkecimpung dalam ilmu tersebutpun telah memberikan syarat standarisasi diterima atau tidaknya, bagus atau buruknya ilmu tafsir tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Suhadi,Ulumul Qur’an,Nora Media Enterprise,2011,
http://ikpma-mesir.blogspot.com/2013/02/israiliyyat-dalam-kitab-tafsir_27.html





[2] Suhadi,Ulumul Qur’an,Nora Media Enterprise,2011, hal. 91-93


No comments:

Post a Comment