Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : AL MUHKAM WAL MUTASYABIH

AL MUHKAM WAL MUTASYABIH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin, M.Ag
 







Di susun Oleh  :
Rinova Suharti          ( 1420210060 )
 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH / ES
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an, selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Ilahi tersebut sudah dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa. Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahaminya biasanya diperlukan alat bantu yang kadang kala tidak sedikit. Pada masa-masa permulaan turunnya, Al-Qur’an lebih banyak dihafal dan dipahami oleh para sahabat nabi SAW. Sehingga kemudian tidak ada alternatif lain bagi para sahabat kecuali berupaya menulisnya. Apabila tidak dituliskan, maka mutiara yang bernilai demikian luhur dikhawatirkan akan bercampur dengan hal-hal lain yang tidak diperlukan. Sehingga, firman Ilahi yang mengiringi kehidupan umat Islam (dan juga seluruh umat manusia) telah tersedia dalam bentuk tertulis, bahkan berbentuk sebuah kitab. Oleh sebab itu, tidak dapat dihindari jika kemudian berkembang ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an yang tidak lain tujuannya untuk mempermudah dalam memahaminya. Salah satu ilmu pengetahuan tentang Alquran adalah ilmu muhkam dan mutasyabih, biasa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari muhkam dam mutasyabih ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu muhkam dan mutasyabih ?
3.      Bagaimana sebab terjadinya tasabuh dalam Al Quran ?
4.      Apa saja ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih dalam Al Quran ?
5.      Apa hikmah dan Nilai- nilai Pendidikan dalam Ayat- ayat Muhkam dan Mutasyabih?
6.      Bagaimana pandangan para Ulama menyikapi ayat- ayat mutasyabih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muhkam dan Mutsabih
Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Contoh: Surat Al-Baqarah ayat 83, yang Artinya: “Dan (ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah, dan terhadap kedua Ibu Bapak hendaklah berbuat baik, dan (juga) kepada kerabat dekat, dan anak-anak yatim dan orang orang miskin , dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia, dan dirikanlah sholat dan keluarkanlah zakat. Kemudian, berpaling kamu , kecuali sedikit, padahal kamu tidak memperdulikan.
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya. Contoh: Surat Thoha ayat 5, yang Artinya: (Allah) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy’. [1]
Adapun menurut pengertian terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih memiliki arti sebagai berikut:
1.      Menurut kelompok Ahlussunnah, ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melaui takwil (metafora) ataupun tidak. Sementara itu, ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan Hari Kiamat, keluarnya Dajjal, dan arti huruf-huruf muqaththa’ah.
2.      Menurut Al- Mawardi, ayat-ayat muhkam adalah yang maknanya dapat dipahami akal, seperti ayat-ayat mutasyabih adalah sebaliknya.
3.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
4.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan.
Pada kesimpulannya, Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.[2]
B.     Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:
هوالّذي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخر متشبهت (ال عمران:)

Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat”. (Q. S. Ali Imron: 7)
Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Di samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti keterangan ayat 1 surah Hud:
كتب احكمت ايته (هو د:)
Artinya: “Suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi”.
Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Alquran itu rapi dan urut, sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan tidak samar artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal pikiran. Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.[3]
C.    Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al Quran
     Imam Ar-Raghib Al- Asfihani  dalam kitabnya Mufradatil Qur’an menyatakan bahwa sebab adanya tasyabuh (kesamaran) dalam Alquran itu pada garis besarnya ada 3 hal, sebagai berikut:
1.         Kesamaran dari aspek lafal saja. Kesamaran ini ada dua macam, sebagai berikut:
a.       Kesamaran dari aspek lafal mufradnya, karena terdiri dari lafal yang gharib (asing), atau yang musyatarak (bermakna ganda), dan sebagainya.
b.      Kesamaran lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas atau terlalu luas.
2.         Kesamaran dari aspek maknanya, seperti mengenai sifat-sifat Allah SWT, sifat-sifat hari kiamat, sorga, neraka, dan sebagainya. Semua sifat-sifat itu tidak terjangkau oleh pikiran manusia.
3.         Kesamaran dari aspek lafal dan maknanya. Kesamaran ini ada lima aspek, sebagai berikut:
a.       Aspek kuantitas (al-kammiyyah), seperti masalah umum atau khusus. Contohnya, ayat 5 surah At-Taubah:
فا قتلوا المشر كين حيث وجد تموهم (التو بة:)
Artinya: “Maka bunuhlah kaum musyrikin itu di manapun kalian temukan mereka itu”.
Di sini batas kuantitasnya yang harus dibunuh masih samar.
b.      Aspek cara (al-kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama atau kesunahannya. Contohnya, ayat 14 surah Thoha:
واقم الصلوة لذ كر ى (طه:)
Artinya: “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku (Allah)”.
Dalam ayat ini terdapat kesamaran, dalam hal bagaimana cara salat agar dapat mengingatkan kepada Allah SWT.
c.       Aspek waktu, seperti batas sampai kapan melaksanakan sesuatu perbuatan. Contohnya, dalam ayat 102 surat Ali Imran:
يايها الذين امنوا اتقوا الله حق تقاته (ال عمران:)
  Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya”.
Dalam ayat ini terjadi kesamaran, sampai kapan batas taqwa yang benar-benar itu.
d.      Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah, dalam ayat 189 surah Al-Baqarah:
وليس البر بآن تآتوا البيو ت من ظهور ها (البقة:)
Atinya: “ Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah, juga samar”.
Tempat mana yang dimaksud dengan baliknya rumah, juga samar.
Aspek syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban juga samar, seperti bagaimana syarat sahnya salat, puasa, haji, nikah, dan sebagainya.[4]
D.    Macam – Macam Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat mutasyabihat dalam Alquran dengan adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan arti yang lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macamayat mutasyabihat itu ada 3 macam, sebagai berikut:
1.    Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manuia, kecuali Allah SWT.
Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat dan sebagainya. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan ghaib yang diketahui Allah SWt, seperti ayat 34 surah Lukman:
31:34
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat., dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
2.      Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam.
Contohnya seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
3.      Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rosyikh ilmu pengetahuannya, seperti keterangan ayat 7 surah Ali Imrom: 1

3:7
E.     Hikmah dan Nilai- Nilai Pendidikan dalam Ayat- Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya terdapat berbagai mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus dipecahkan oleh umat di dunia ini. Alloh tidak akan mungkin memberikan sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Di bawah ini ada beberapa hikmah tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantara hikmahnya adalah :
1.      Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
2.      Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: “Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.(Q.S. Fushshilat [41]: 42)

1.      Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
2.      Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya, sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya. Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih  antara satu dengan yang lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan sebagainya. Apabila ayat-ayat mutasyabihat itu tidak ada niscaya tidak akan ada ilmu-ilmu tidak akan muncul.
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam  dan mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuklahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual. mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
F.     Pandangan Para Ulama Menyikapi Ayat-ayat Mutasyabih
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 7.
Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.   Mazhab Salaf
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Para Ulama Salaf mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau Tafwid
2.   Mazhab Khalaf
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang menjadikan perbedaan pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab Khalaf:
1.                  Lafal “Ístawa” pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Ars.”
Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy.
Menurut mazhab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas Arsy (tahta). Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri. Sedangkan mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
2.              Lafal “yadun”  pada Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah berfirman:
Artinya: ”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.[5]



BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.      Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya.
2.      Sejarah perkembangannya sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.
3.      Sebab terjadinya tasyabuh dalam Alquran yaitu Kesamaran dari aspek lafal saja, kesamaran dari aspek maknanya, kesamaran dari aspek lafal dan maknanya.
4.      Macam – Macam Ayat Muhkam dan Mutasyabih:
a.       Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manuia, kecuali Allah SWT.
b.      Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam.
c.       Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam.
5.      Hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih:
a.       Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
b.      Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
6.      Pandangan para Ulama adanya ayat Mtasyabih dikemas dalam 2 Madzhab:
a. Mazhab Salaf
b. Mazhab Khalaf































DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013.
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998.
































[1] http://www.slideshare.net/azzaazza50746/makalah-muhkam-mutasyabih
[2] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013, halm 120-121.

[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, halm 243-244.

[4] Abdul Djalal, ibid, halm 250-251.

No comments:

Post a Comment