Tuesday, November 3, 2015

SEJARAH EKONOMI ISLAM : SEJARAH EKONOMI PADA MASA ISLAM KLASIK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perekonomian Islam sebagai sebuah struktur baru dimulai pada periode Madinah dan relatif masih sederhana dengan komitmen yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannyayang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan dengan kegiatan perekonomian didominasi perdagangan dan kegiatan lainnya seperti bertani, beternak dan berkebun. Kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, dimana untuk mejaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas islam Rosulullah mendirikan Al Hisbah sebagai sebuah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (Market Controller). Rosulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan Negara. Dimana Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam menentukan kebijakan yang bertujuan untuk untuk kesejahteraan masyarakat. Rasulullah SAW.  Mengawali pembangunan Madinah tanpa sumber keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan pada saat itu masih sangat timpang. Kaum Muhajirin tidak memiliki kekayaan karena mereka meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Oleh karena itu Rosulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor sehingga dengan sendirinya terjadi redistribusi kekayaan. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, Rosulullah mendorong kerjasama diantara anggota masyarakat (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan Negara juga menigkat. Sumber pemasukan Negara berasal dari beberapa sumber,tetapi yang paling pokok adalah Zakat dan Ushr.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Klasik ?
2.      Bagaimana Sistem Ekonomi yang diterapakan oleh Rasullah SAW di Kota Madinah ?
3.      Bagaimana Sumber-Sumber Penerimaan Negara Pada Masa Islam Klasik?
4.      Bagaimana Sumber-Sumber Pengeluaran Negara?








BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Klasik
Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Atas kedua bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah Allah Swt serta melihat fakta bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota yang bertanah subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
Berbeda halnya dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Rasulullah pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Membangun Masjid
     Setibanya di kota Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan mesjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan berkomunikasi, sehingga tali ukhuwwah dan mahabbah semakin terjalin kuat dan kokoh.
Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal sebagai Mesjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan para anggota parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait al-māl. Dengan fungsi mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi Negara Madinah yang baru terbentuk.
  1. Merehabilitasi Kaum Muhajirin.
Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi kaum Muhajirin. Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan.
Di kota Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
  1. Membuat Konstitusi Negara.
Setelah mendirikan mesjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi Negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
d.      Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara.
Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.

B.     Sistem Ekonomi yang diterapakan oleh Rasullah SAW di Kota Madinah
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih sayang Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau pun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
  1. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
  2. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
  3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
  4. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
  5. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
  6. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
  7. Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.[1]
C.     Sumber-Sumber Penerimaan Negara Pada Masa Islam Klasik
1.      Sumber-Sumber Pendapatan Negara.
a)      Al-kharaj = pajak hasil bumi
Al-khaaraj adalah apa yang diwajibkan atas tanah yang ditaklukkan orang-orang muslim dengan kekerasan atau secara damai.
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
b)      Al-usyur yaitu 10% dari perdagangan dan kapal-kapal orang asing yang datang ke negara Islam
Usyur; Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur, Al Usyur (atau 1/10) Adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara Islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful Usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam. Itulah pungutan yang dikenal dalam syari’at Islam. Rawwas Qal’ah Jie mendefinisikan ‘usyur sebagai berikut: Apa yang dipungut dari pedagang ahlu al-harb dan ahlu ad-dzimmah ketika mereka melewati batas negara Islam. Pada masa lalu jumlah yang dipungut dari apa yang mereka bawa adalah sepersepuluh.
Ushur adalah Salah satu sumber pendapatan negara Islam (income) yang berasal dari bea cukai barang impor (barang dagangan yang dibawa masuk ke negara Islam). Pertama kali dipraktikkan di zaman Khalifah Umar bin Al-Khattab dengan ketentuan nisab bagi cukai impor adalah 200 dirham atau 20 mitsal tanpa haul. MA Manan (1992’’274), menerangkan tentang cara penaksiran dan pemungutan ushur, di antaranya sebagai berikut: Bazis setempat akan diadakan oleh jawatan pajak atau badan resmi lainnya yang dapat ditetapkan oleh Adminstrator Kepala atau pemilik tanah.
Seorang wajib ushur boleh menghitung kewajiban ushur-nya berdasarkan penaksiran sendiri dan menyampaikannya kepada Bazis dengan cara dan bentuk yang mungkin ditetapkan. Bila Bazis setempat berpendapat bahwa suatu penaksiran sendiri dari kewajiban ushur yang dilakukan oleh yang berkepentingan dapat diterima, hal ini akan diberitahukanya kepada wajib ushur sebagai ushur yang ditetapkan baginya. Bila seorang wajib ushur tidak menyampaikan penaksiran kewajiban ushurnya dalam subseksi. Dalam hal kontrak, sewa yang segera berlaku sebelum mulainya ordonansi ini, maka kewajiban membayar ushur bagi orang yang menyewakan dan si penyewa akan dibagi secara adil di antara mereka oleh Bazis.[2]
c)      Al-zakah = zakat harta 2,5% dari harta yang sampai nisab
Pada tahun ke-2 Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt mewajibkan zakat māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
d)     Al-jizyah = pajak ahli dzimmah, yaitu orang bukan islam yang bertempat tinggal bukan di negara Islam
Jizyah ( Bahasa Arab: جزْية ) adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada kaum Muslimin untuk menuntutnya daripada orang-orang kafir, kerana mereka tunduk kepada pemerintahan Islam (Daulah Islamiyah).Jizyah ialah cukai yang dikenakan ke atas individu bukan Islam yang berlindung di negara Islam. Jizyah merupakan harta umum yang dibahagikan mengikut kemaslahatan rakyat, dan wajib diambil setiap satu tahun dan tidak wajib diambil sebelum satu tahun. Hukum jizyah adalah wajib berdasarkan nash Al-Quran. Allah S.W.T. berfirman :
"Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk." (Surah At-Taubah:29)
Abu Ubaid meriwayatkan di dalam kitab Al-Amwal dari Hassan bin Muhammad yang mengatakan: Nabi pernah menulis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam :
"Siapa sahaja yang memeluk Islam sebelum ini, serta siapa sahaja yang tidak diambil jizyah atas dirinya: Hendaklah sembelihannya tidak dimakan, dan kaum wanitanya tidak dinikahi."
Orang-orang kafir wajib dikenakan jizyah selagi mereka masih kufur, namun apabila mereka memluk agama Islam maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah dikenakan ke atas orang , bukannya harta. Maka setiap orang kafir wajib membayar jizyah dan bukan ke atas harta mereka.
Perkataan jizyah diambil daripada perkataan jaza', yang mana jizyah itu diambil kerana kekufuran mereka. Oleh kerana itu jizyah tersebut tidak akan gugur sehingga mereka memeluk agama Islam. Jizyah juga tidak akan gugur walapun mereka ikut berperang. Ini kerana jizyah itu bukan bayaran untuk melindungi mereka. Jizyah juga tidak akan diambil melainkan daripada orang yang mampu sahaja. Allah berfirman: "Illa'an Yadin." Maksudnya kerana kemampuan mereka. Oleh kerana itu jizyah tidak diambil daripada orang yang tidak mampu. Disamping itu jizyah diambil daripada kaum lelaki sahaja dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak dan juga orang gila. Walaupun wanita tersebut datang ke negara Islam dan sanggup membayar jizyah sebagai bayaran kerana ingin menetap di sana, namun jizyahnya tidak wajib diambil , dia akan diterima tinggal di negara Islam dan dia bebas untuk tinggal dimana sahaja di negara Islam.
Jumlah jizyah ditetapkan mengikut kebijaksanaan dan ijtihad Khalifah. Harus diingat bahawa jizyah itu hendaklah tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar jizyah. Daripada Ibnu Abi Najih yang mengatakan: "Aku bertanya kepada Mujahid: 'Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 dinar sedangkan penduduk Yaman hanya 1 dinar?' Mujahid menjawab: 'Hal itu haya untuk mempermudah'." (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari).
Apabila Jizyah dikenakan terhadap orang yang mampu, manakala dia keberatan untuk membayarnya, maka dia dianggap mempunyai hutang jizyah. Dia akan diperlakukan sebagaimana orang yang berhutang dalam keadaan yang dia keberatan. Kemudian akan dilihat bagaimana mudahnya.[3]
e)      Al-fai –i
Al-fai-i  adalah harta yang didapatkan dari musuh tanpa berperang seperti harta yang tidak bergerah (tanah) atau merupakan harta yang di peroleh dari al-islam secara tunai.[4]
Pengarang kitab as-Siyasah wal-Iqtishaad fit-Tafkiir il-Islaami berkata tentang a- fai-i  ini bahwa tatkala a- fai-i disebutkan bersama dengan harta rampasan, al-kharaaj dan jizyah yang dimaksudkan adalah harta yang diambil secara damai dan berlawanan dengan ghanimah yang diambil yang diambil secara paksa. Harat yang diambil secara damai adalah yang diambil tanpa perang. Sebagai implikasinya, yang terpenting menurut pendapat Abu Yusuf adalah selama bala tentara tidak melaksanakan operasi militer berupa penikaman atau pengepungan, maka yang diambil itu dianggap a- fai-i bukan ghanimah.
Apabila a- fai-i itu diperoleh dengan damai, maka syarat-syarat perdamaian itu harus dipegang erat dan ini telah diisyaratkan pada bagian terdahulu. Allah berfirman:

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya....” (an-Nahl:91)
Apa yang diperoleh kaum muslimin dengan cara damai, pengelolaanya seperti pengelolaan seperti cara membagi seperlima ghanimah. Sedangkan empat seperlima yang tersisa itu khusus untuk baitul mal dan ia merupakan asas pendapatan. Tanah kharaaj setelah ditetapkan untuk tidak dibagikan kepada pasukan perang sebagian pengkaji dinamakan a- fai-i . berikut ini salah satu bentuk yang termasuk dalam kategori a- fai-i.  Apabila penjajahan kafir memiliki benda milik di wilayah Islam yang dijajah lalu mereka angkat kaki dari tanah itu-sebagai akibat dari suatu revolusi dan berakhir pada sebuah perjanjian damai-maka seperlima dari demua yang ditinggalkannya dibagikan pada penyakuran yang seperlima (dari ghanimah) dan sisanya diserahkan kepada baitul mal kaum muslim sebagaimana yang terjadi, misalnya, di aljazair. Setiap orang perancis yang mengungsi dan meninggalkan harta atau tanah apabila itu dia rampas dari orang yang memiliki bukti pemilikan, maka seperlima diberikan kepada orang-orang fakir dan selebihnya untuk baitul mal kaum muslim.[5]
d)     Khumus
Khumus atau rikaz adalah harta karun temuan pada periode sebelum islam.
e)      Amwal fadhila
Sumber pendapatan negara selanjutnya yaitu amwal fadhila, adalah harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seseorang muslim yang meninggalkan negerinya.

f)       Wakaf
Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada kaum muslimin yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan di depositkan di baitul mal.
g)      Shadaqah
Shadaqah dalam istilah berarti pembuktian keimanan yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Sumber pemasukan pendapatan shadaqah dari kaum muslimin yaitu Qurban dan Khaffarat.[6]

D.    Sumber-Sumber Pengeluaran Negara
Baitul mal dalam Islam memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
1.      Gaji pegawai dan Jaminan Rakyat
Al bukhari meriwayatkan dari Aisyah yang menceritakan bahwa saat Abu Bakar menjadi khalifah, dia berkata, “Sungguh kaumku telah tahu bahwa pekerjaanku sanggup menghidup keluargaku. Pada saat aku sibuk mengurusi kaum muslimin keluarga Abu Bakar akan makan dari harta ini dan orang-orang muslim akan dipekerjakan didalamnya”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad sahih dari Umar r.a. yang berkata “Aku bekerja di masa Rasulullah saw. Dan beliau memberikan gaji atas pekerjaanku itu”
Disini kita harus menjelaskan bahwa suatu jenis pekerjaan tidak perlu ada kecuali apabila dibutuhkan dan legal menurut syariat. Negara tidak boleh menciptakan jenis pekerjaan yang tidak diperlukan umat dan tidak boleh menciptakan pekerjaan yang tidak legal. Ia tidak boleh mengeluarkan dana untuk hal-hal yang tidak logis.

2.      Pendanaan proyek-proyek umum
Kita melihat suatu bagian dari tujuan-tujuan umum sistem ekonomi Islam, seperi adanya ekonomi Islam sebagai ekonomi perang dan sebagai ekonomi yang merealisasikan kebutuhan-kebutuhan dasar umat. Ini semua membutuhkan dana supaya proyek-proyeknya bisa terwujud. Disamping itu disini ada berbagai proyek yang secara pasti wajib di kembangkan negara Islam, seperti proyek pembangkit listrik dengan tenaga air. Sebab itu air umum adalah milik umat, maka proyek yang memanfaatkan air lebih baik menjadi milik umat.
Meskipun demikian, proyek-proyek yang biayanya diambil dari baitul mal harus memenuhi syarat berikut:
a)      Proyek tersebut akan mewujudkan tujuan Islami
b)      Proyek itu memberikan maanfaat pada umat
c)      Tidak mengeluarkan dana yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam proyek
d)     Dana pembangunan jembatan, penggalian pengairan, pemeliharaan air sungai dan air minum, pembangunan jaringan transportasi yang dapat menghubungkan anggota masyarakat, pendirian industri perang raksasa dan pengadaan armada laut termasuk dalam kategori proyek tersebut.
Para fuqaha Hanafi berpendapat bahwa apa yang dipungut imam dari pajak, apa yang dihadiahkan orang berperang kepada imam dan jizyah. Apa yang diambil mereka tanpa perang dibelanjakan mereka untuk kepentingan umum kaum muslimin. Hal itu semua dipakai untuk membiayai penjagaan tapal batas negara, membangun perairan dan jembatan, menggaji para hakim dan pegawai kaum muslim,bendaharawan dan staf dengan gaji yang mencukupi mereka dan keluarga. Ini juga dibayarkan untuk pasukan perang dan keluarganya.



3.      Distribusi dana yang tersisa kepada umat secara merata
Salah seorang sahabat yang bernama Abu Salam menyerahkan sedekah kepada khalifah dan harat itu ditempatkan di baitul mal. Abu bakar membagikannya kepada rakyat secara berkelompok-kelompok. Setiap seratus orang mendapatkan sekian dan sekian. Dia menyamakan pembagiannya untuk semua orang, baik orang bebas, budak, laki-laki, perempuan, kecil ataupun besar. Abu bakar membeli unta, kuda, senjata untuk dijalan Allah. Pada suatu waktu, dia pernah menbeli sutra yang didatangkan dari desa. Lalu kain-kain itu dipisah-pisah untuk para janda penduduk Madinah pada musim dingin.[7]




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pada awal masa pemerintahan Rasulullah, negara tidak mempunyai kekayaan apapun, karena sumber penerimaan negara hampir tidak ada. Sampai tahun ke-4 hijrah pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir, karena melanggar perjanjian (piagam Madinah) dengan umat Islam sehingga mereka ditaklukkan dandipaksa meninggalkan kota. Wakaf Islam pertama adalah dari seorang Banu Nadir yang masuk Islam dan memberikan tujuh kebunnya. Dan hal ini sebagai pemasukan pendapatan bagi negara.
Harta rampasan perang (ghanimah)  merupakan sumber pendapatan atau pemasukan negara, meskipun kontribusinya selama 10 tahun kepemimpinan Rasulullah tidak lebih dari 2%. Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahun ke-9 H di mana zakat mulai diwajibkan, tetapi sumber penerimaan negara tidak hanya diperoleh dari ghanimah, zakat dan ushr saja melainkan bisa berasal dari shadaqah kaum muslim, kharaaj, wakaf dan sumber pendapatan yang lain. Dan dari pendapatan itu, tentunya akan digunakan sebagai pengeluaran misalnya pembelian alat-alat perang negara, pembayaran pegawai, pendanaan proyek-proyek umum  yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B.     Saran
Demikianlan makalah ini kami susun, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Dan dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik dalam hal sistematika maupun dalam hal isi. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Said Hawwa, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta:2004.




[1] Tersedia di situs http://sungai-jingah.blogspot.com/2013/02/sejarah-peradaban-ekonomi-islam-klasik.html, Diunduh pada hari rabu, 09-09-2015 jam 18:30 wib.
[2]Tersedia di situs  https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/12/definisi-usyur/, Diunduh pada hari jum’at 11-09-2015 pukul 10:00 wib.
[3] Tersedia di situs https://ms.wikipedia.org/wiki/Jizyah, Diunduh pada hari jum’at, 11-09-2015 pukul 10:10 wib.

4 Said Hawwa, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta:2004, Hlm. 602-604.
5 Tersedi di situs  http://syariah.mywapblog.com/pemasukan-negara-pada-masa-rasulullah.xhtml, Diunduh pada hari jum’at, 11-09-2015 pukul 10:30 wib.
6  Ibid, hlm.606-609.

No comments:

Post a Comment