Tuesday, November 3, 2015

FIQIH MUAMALAH : KONSEPSI AKAD DALAM HUKUM SYARIAH

MAKALAH FIQH MUAMALAH

“Konsepsi Akad Dalam Hukum Syariah”

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah               : Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu       : Suhadi, M.Si
Hari, Jam Kuliah        : Rabu, Jam Pertama
Kelas                         : ESRB-3



Disusun oleh Kelompok 2

1.      Khadiza Amelia                 (1420210043)
2.      Lutfi Zakaria                      (1420210064)
3.      Inayatun Nurur Rohmah    (1420210065)

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam memenuhi kebutuhan keduanya, yaitu dengan proses untuk akad.
Dalam pembahasan fiqh, akad dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Akad ?
2.      Bagaimana Rukun dan Syarat Dalam Akad ?
3.      Bagaimaana Pembagian dalam Akad ?
4.      Apa Macam-Macam Akad ?
5.      Apa Saja Penghalang Akad ?
6.      Apa Hikmah dalam Akad ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akad
Menurut bahasa ‘Aqd mempunyai beberapa arti antara lain
1.      Mengikat
جَمْحَ طَرفَيْ حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِالأخَرِحَتَّى يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحاَ كَقِطْعَتٍ وَاحِدَتٍ
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.      Sambungan
اَلْمَوْصِلُ الّذِىْ يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.      Janji
بِلى مَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّه يُحِبُّ المُتَّقِيْنَ
“Siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taqwa.”
يَا ايُّهَاالذِيْنَ امَنُوْاأَوْفَوْابالعُقُوْدِ
“Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.”
Menurut istilah terminologi yang dimaksud dengan akad adalah
إرْتِبَاطُ لإِيْجَابِ بِقبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُعٍ يُثْبِتُ الثَرَاضِىْ
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”
مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ أَحَدِالطّرَفَيْنِ مَحَ قَبُوْلِ الأخَرِاَوِّالْكَلاَمُ الْوَاحِدُالْقَائِمُ مَقَا مَهُمَا
“Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”

مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ وَالقَبُوْلِ إِدَّعَايَقَوْمُ مَقَا مَهُمَا مَحَ ذلِكَ الآِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
"Berkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”
رَبْطُ أَجْزَاعِ التّصَرُّفِ بِالإْيْجَابِ وَالقَبُوْلِ شرْعًا
“Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.”[1]
B.     Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari:
1.      Al-aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.      Objek akad
3.      Sighat al-aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.      Tujuan akad
Berbeda dengan jumhur ulama’, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu sighat al-aqd. Bagi madzhab Hanafi yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pertanyaan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya diluar esensi akad,para pihak dan objek akad merupakan syarat,bukan rukun.
Beberapa unsur dalam akad yang kemudian dikenal sebagai rukun tersebut masing-masing membutuhkan syarat agar akad dapat terbentuk dan mengikat antar pihak. Beberapa syarat tersebut meliputi:
1.      Syarat terbentuknya akad, dalam hukum Islam syarat ini dikenal dengan nama Al-syuruth Al-in’iqad. Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad,ialah:
a.       Pihak yang berakad(aqidain) disyaratkan tamyiz.
b.      Shighat akad (pertanyaan kehendak) adanya kesesuaian ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
c.       Objek akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan (benda yang bernilai dan dimiliki)
d.      Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara
2.      Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Antar lain
a.       Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jka pertanyaan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa,maka akad dianggap batal
b.      Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat
c.       Bebas dari gharar, yaitu tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang berakad
d.      Bebas dari riba
3.      Syarat-syarat berlakunya akibat hukum(al-syuruth an-nafadz) adalah syarat yang diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah :
a.       Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, kewenangan ini terpenuhi jika para pihak memiliki kewenangan sempurna atas objek akad,atau para pihak merupakan wakil dari pemilik objek yang mendapatkan kuasa dari pemiliknya atau pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain.
b.      Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan ini terpenuhi dengan para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang dipandang mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan.
c.       Syarat mengikat (al-syarth al-luzum) sebuah akad yang sudah memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana yang dijelaskan diatas,belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat pihak-pihak yang telah melakukan akad. Ada persayaratan lagi yang menjadikannya mengikat diantaranya:
1)      Terbebas dari sifat akad  yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak,seperti akad kafalah (penanggungan). Akad ini menurut sifatnya merupakan akad tidak mengikat sebelah pihak,yaitu tidak mengikat sebelah pihak,yaitu tidakmengikat kreditor (pemberi hutang) yang kepadanya penanggungan diberikan. Kreditor dapat secara sepihak membatalkan akad penanggungan,dan membebaskan penanggung dari konsekuensinya. Bagi penanggung (al-kafil) akad tersebut mengikat sehinggan ia tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan kreditor.
2)      Terbebas dari khiyar,akad yang masih tergantung dengan hak khiyar baru mengikat ketika hak khiyar berakhir. Selama hak khiyar belum berakhir,akad tersebut mengikat.[2]

C.    Pembagian Akad
1.      Dilihat dari sisi ditentukan nama atau tidak, akad dibedakan menjadi dua:
a.       Akad bernama (al aqd al-musamma) adalah akad yang bertujuan dan namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.
b.      Akad tidak bernama, yaitu akad yang namanya tidak ditentukan oleh pembuat hukum yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka.
2.      Dilihat dari sisi kedudukan akad
a.       Al-aqd al-ashli (akad pokok) yaitu akad yang keberadaanya tidaktergantung dengan akad lain. Contoh akad jual beli, sewa menyewa, penitipan, dll.
b.      Al-aqd al-tabi’i yaitu akad yang keberadaanya tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidaknya akad tersebut. Contoh akad penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai. Kedua akad ini merupakan perjanjian untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada jika hak-hak yang dijamin tidak ada.
3.      Dilihat dari tempo yang berlaku
a.       Al-aqd al zamani(akad yang bertempo) ialah akad yang menjadi unsur waktu sebagai bagian dari akad tersebut. Yang termasuk dalam akad ini antara lain sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam-meminjam, akad pemberian kuasa,dll.
b.      Al-aqd al-fauri(akad tidak bertempo) akad ini dimana unsur waktu bukan merupakan bagian dari isi perjanjian.
4.      Dilihat dari aspek formalitasnya,akad dibedakan menjadi dua yaitu :
a.       Akad konsensual (al-aqd al-radla’i) yaitu akad yang terwujud atas kesepakatan para pihak tanpa ada persyaratan formalitas-formalitas tertentu.
b.      Akad formalistik (al-aqd al-syakli) akad yang tunduk dalam syarat-syarat yang ditentukan oleh pembuat hukum syar’i
c.       Akad riil(al-aqd al-aini) adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. [3]

D.    Macam-macam Akad
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya, lantaran berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan nama-nama itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah ini tidak diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya terbagilah akad kepada :
1.      ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
2.      ‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’ sendiri.
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama ini semuanya kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian muamalah maliyah dalam ilmu fiqh.
1)      Bai’
عَقْدٌ يَقَوْمُ عَلَى اَسَاسِ مُبَادَلَةِ المَالِ لُيفِيْدَ تَبَادُلَ المِلْكِيّاتِ عَلَى الدّوَامَ
“Akad yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah penukaran milik secara tetap”
Akad ini adalah pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya merupakan naqis ‘alaihi, dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita membaca kitab-kitab fiqh, maka yang mula-mula kita ketemukan dalam bab muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak untuk membahas segala masalah muawadlah maliyah.
2)      Ijarah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ المُبَادَلَةُ عَلَى مَنْفَعَةِ الشّيْءِ بِمُدّةٍ مَحْدُوْدَةٍ أَىْ تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْعُ المُنَافِعِ
Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu artinya: memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3)      Kafalah
ضَمُّ ذِمَّةٍ إِلى ذِمَّةٍ فِى المُطَالَبَةِ
“Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
Atau dalam ibarat yang lain dikatakan:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ الْتِزَامَ شَخْصٍ بِحَقِّ وَاجِبٍ عَلَى غَيْرِهِ وَاشْرَاكِ نَفْسِهِ مَعَهُ فِى المَسْؤُلِيَّةِ بِهِ تُجَاهَ الطَّالِبِ
“Akad yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada hak yang wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama orang lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi seseorang penagih”.
Multazim, dalam hal ini dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful atau makful ‘anhu. Multazim bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.
4)      Hawalah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ نَقْلُ المَسْئُولِيَّةِ مِنَ الدَّائِنِ الأَصْلِيِّ إِلَى غَيْرِهِ
“Suatu akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-mula berhutang kepada pihak lain”.
Madin dinamakan muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu sendiri dinamakan muhal bihi.
5)      Rahn
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اِحْتِبَاسُ مَالٍ لِقَاءَحَقٍّ يُمْكِنُ اسْتِيْفَاؤُهُ مِنْهُ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”.
Maka orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang yang memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.
6)      Bai’ul Wafa’
عَقْدٌتَوْفِيْقِيٌّ فِي صُوْرَةِ بَيْعٍ عَلَى أَسَاسِ احْتِفَاظِ الطَّرَفَيْنِ بِحَقِّ التَّرَادِّ فِى العِوَ ضَيْنِ
Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.
Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah, sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti jual beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat yang dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan. Berbeda dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin dengan sesuatu tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn, karena si musytari tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh memindahkan barang itu kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu bai’, karena si musytari boleh mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf dengan sempurna, dari segi yang lain kita katakana rahn; karena si musytari tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain.
Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini harus mengembalikan barang kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga. Inilah yang dimaksudkan dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari dapaat mendesak si penjual mengembalikan harga.
7)      Al’ida
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اسْتِعَانَةُ الإِنْسَانِ بِغَيْرِهِ فِى حِفْظِ مَالِهِ
“Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harga si penitip itu”.
Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah. Harta wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang amanah dan si wadi’ dipandang ‘amiin.
 Terkadang lafad wadi’ah dipakai untuk akad sendiri. Artinya amanah dalam istilah fuqoha, ialah si wadi’ tidak bertanggung jawab terhadap bencana-bencana yang tak disingkirkan, seperti bencana alam; dan si ‘amiin itu diharuskan bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran kesalahannya. Akad Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad inilah yang dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.
8)      Al I’arah
عَقْدٌ يَرِدُعَلَى التَّبَرُّعِ بِمَنَافِعِ الشَّىْءِلِاسْتِعْمَالِهِ وَرَدِّهِ
“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”.
Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang dipinjamkan namanya ‘ariyah.
I’arah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki manfaat iwadl, atau menjual manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam ijarah wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan lamanya.
9)      Hibah
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ تَمْلِيْكُ الإِنْسَانِ مَالَهُ لِغَيْرِهِ مَجًّانًا بِلَاعِوَضٍ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.
Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.
10)  Aqdul Qismati
إِفْرُازُالْحِصَصِ الشَّائِعَةِ فِىْ الْمِلْكِ وَتحْصِيْصُ كُلِّ مِنْهَا بِجُزْءٍمُعَيَّنٍ
“Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang dimiliki bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing pemilik dari bagian itu, bagian tertentu”.
Pelaksanaan qismah terdiri dari dua unsur :
a.       Unsur ifraz, mengasingkan atau memisahkan dari yang lain.
b.      Unsur jual beli dan tukar menukar.
Hal ini berlaku dalam suatu yang dimiliki secara musyarakah (secara bersama), yang terdapat hak bersama pada tiap-tiap bagian dari benda itu. Dan qismah ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak, dan kadang-kadang dilakukan atas putusan hakim berdasarkan permintaan kongsi.[4]

E.     Mani’ Nufudz (Penghalang Akad)
Mani’ nufudz banyak macamnya. Namun demikian dapat kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu ikrah (paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain).
Ikrah, adalah cacat yang terjadi pada keridlaan (kehendak) yang paling penting dalam fiqh Islam. Para fuqaha mengadakan pembahasan tersendiri tentang ikrah ini. Mengenai haqqul ghair ini perlu dijelaskan sedikit. Haqqul ghair mempunyai tiga keadaan :
1.      Haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Seperti menjual milik orang lain, tindakan orang sakit menjelang maut, dan seperti tasharruf orang murtad menurut jumhur atau menurut Abu Hanifah.
2.      Berpautan dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda (‘ain)nya, hanya dengan maliyahnya, dengan hartanya, seperti tasharruf si madin yang tidak majhur secara yang menimbulkan kerugian pihak dain, lantaran hak-hak si dain itu berpautan dengan maliyah benda itu, bukan dengan zatnya benda itu.
Uang si dain bukan bersangkut dengan rumah si madin, tetapi bersangkut dengan harta si madin. Maka jika si madin dapat membawakan harta-harta yang lain untuk bayar hutang, sahlah tabarru’nya itu. Ini perbedaan perpautan hak dengan ‘ain, dengan perpautan hak dengan maliyah ‘ain. Kalau berpautan dengan hak si dain berpautan dengan maliyah si madin, maka kalau simadin itu bisa membayar walaupun dengan bukan yang itu, niscaya si madin dapat bertasharruf dengan hartanya itu.
3.      Berpautan dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan benda, yang dikatakan dalam istilah fiqh shalahiatul tasharruf; (boleh bertasharruf), seperti tasharruf si majhur alaih, baik karena masih kecil, maupun karena safih (boros), atau lantaran hutang. Apabila wali atau washi setuju, maka persetujuan ini berlaku surut. Ini penting kita perhatikan.[5]

F.     Asas-Asas Dalam Fiqh Muamalah
1.      Asas Ibabah
Asas ini merupakan asas umum dalam hukum islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh
“Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu itu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”
Kaidah diatas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum islam.
2.      Asas Kebebasan, asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan dalam Islam, tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu. Asas ini berdasarkan kaidah :
“Kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain”
Berdasarkan kaidah diatas Islam memberikan batasan-batasan tertentu terhadap sesuatu yang didalamnya terkandung kebebasan. Bebas yang ada batasannya dimaksudkan untuk menghormati kebebasan orang lain.
3.      Asas Konsesualisme, asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Dalam asas ini berlaku kaidah :
”Pada dasarnya perjanjian itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji”.
4.      Asas ”Janji itu Mengikat” artinya bahwa janji atau kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dipandang mengikat terhadap pihak-pihak yang telah membuatnya. Atas dasar ini, dua orang yang telah mengikatkan diri dengan kesepakatan tertentu, salah satu pihak tidak bisa membatalkan kesepekatan tersebut tanpa persetujuan pihak lain.
5.      Asas Keseimbangan
Hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima tercemin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resiko tercemin pada larangan riba.
6.      Asas Kemaslahatan, bahwa akad yang dibuat oleh para pihak yang dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh mendatangkan kerugian dan keadaan yang memberatkan. Inilah yang menjadi alasan tidak bolehnya mentransaksikan barang-barang yang memabukkan, dikarenakan dalam barang tersebut terkandung sesuatu yang mendatangkan madarat.
7.      Asas Amanah
Dengan asas ini dimaksudkan bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi tidak tahuan mitraanya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Jika pada suatu saat ditemukan sebuah informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena sebuah ketidak jujuran, maka ketidakjujuran tersebut bisa dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan akad.
8.      Asas Keadilan
Keadilan adalah sebuah sendi yang hendak mewujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan oleh klausul akad tanpa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kotemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu telah diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu. [6]

G.    Hikmah Akad
1.      Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2.      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3.      Akad merupakan payung hukum di dalam kepemilikan sesuatu sehingga pihak lain tidak dapat menggangu atau memilikinya.[7]



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari: Al-aqidain (pihak-pihak yang berakad), Objek akad, Sighat al-aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri), Tujuan akad. Syarat terbentuknya akad : Pihak yang berakad(aqidain), Shighat akad, Objek akad, Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’. Syarat keabsahan akad : Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas, Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat, Bebas dari gharar, Bebas dari riba. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum : Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, Syarat mengikat(Terbebas dari sifat akad  yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak, Terbebas dari khiyar).





B.     Saran




DAFTAR PUSTAKA

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,
Afandi Yazid, Fiqh Muamalah, Jakarta: Logung Pustaka, 2009
Hasbi Ash-Shiddieqy Tengku Muhammad, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Ghazali Abdul Rohman, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenada Media Group, 2010




[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
[2] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Jogjakarta: Logung Pustaka, 2009, hlm.34
[3] Ibid, hlm. 38
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 82
[5]Ibid, hlm. 47-48
[6] Yazid Afandi, Op.Cit, hlm. 46-49
[7] Abdul Rohman Ghazali, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm.59

No comments:

Post a Comment