Wednesday, November 4, 2015

FILSAFAT :FILSAFAT MODERN

MAKALAH
“FILSAFAT MODERN”
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah   : Filsafat
Dosen pengampu  : Atika Ulfia Adlina, M.S.I







Disusun oleh kelompok 4 :
1.       Maya Yunita                                (1420210046)
2.       Aflikhatul Hidayah                   (1420210053)
3.       Siti Aisyah                                     (1420210054)
4.       Awaliyatu Khoirunnisa’          (1420210056)
5.       Kholifatun Nisa’                         (1420210070)
6.       Ifana Ainia                                    (1420210072)
 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan muncuknya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali, yang mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14). Tujuan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah.
Di samping itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.
Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap  kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal akan dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya (manusia-manusianya) dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal yang sehat.
Aliran yang menjadi pendahuluan ajaran filsafat modern ini didasarkan pada suatu kesadaran atas yang individual dan yang konkret.
Dalam era filsafat modern, yang kemudian dilanjutkan dengan era filsafat abad ke-20, munculah berbagai aliran pemikiran : Rasionalisme, Empirisme, Kritisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materialisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme.
B.        Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang munculnya filsafat modern?
b.       Apa saja macam-macam aliran pemikiran dalam filsafat modern dan tokoh-tokohnya?
c.       Apa penyebab keruntuhan filsafat modern ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Munculnya Filsafat Modern
Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting. Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan Renaissance dan Aufklaerung itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan zaman modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia barat dari otoritas Gereja dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissance dan Aufklaerung perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu. Kebenaran merupakan “ a never ending process”, bukan sesuatu yang berhenti, selesai dalam kebekuan normatif atau dogmatis.
Pada umumnya, para sejarawan sepakat bahwa zaman modern lahir sekitar tahun 1500-an di Eropa. Peralihan zaman ini ditandai dengan semangat anti Abad Pertengahan yang cenderung mengekang kebebasan berpikir. Sesuai dengan istilah “modern” yang memiliki arti baru, sekarang, atau saat ini, filsafat modern merupakan sebuah pemikiran yang menganalis tentang kekinian, sekarang, subjektivitas, kritik, hal yang baru, kemajuan, dan apa yang harus dilakukan pada saat ini. Semangat kekinian ini tumbuh sebagai perlawanan terhadap cara berpikir tradisional Abad Pertengahan yang dianggap sudah tidak relevan.
Filsafat Abad Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman modern otoritas kekuasaan itu terletak kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah Agama dengan Gerejanya, serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Para filosof modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feudal, melainkan dari diri manusia sendiri.
B.      Macam-macam Aliran Pemikiran dalam Filsafat Modern dan Tokoh-tokoh
1.                            RASIONALISME (DESCARTES – SPINOZA – LEIBNIZ)
Rasionalisme adalah paham filsafat yang  mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. (Ahmad Tafsir, 2013 : 127)
Descartes (1596-1650)
a.                   Tentang Kesadaran
Dengan konsep dan metode pengetahuannya yang rasional dan baru, Rene Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern.[1] Ia meyakini bahwa sumber pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan mitos, prasangka, omongan orang, ataupun wahyu seperti yang diyakini pada Abad Pertengahan. Ia sangat yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran, lantaran di luar rasio mengandung kelemahan atau kesangsian. Atas keyakinannya pada rasio tersebut, ia membangun pemikiran filsafatnya.
Rasio yang dimaksud oleh Descartes adalah kesadaran (cogito). Sejak Descartes mengeluarkan konsepnya tentang kesadaran, para filsuf mulai benar-benar menggeluti masalah kesadaran. (Masykur Arif Rahman, 2013: 241)
b.              Metode Keraguan
Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya, A Discourse on Methode[2] mengemukakan empat hal berikut :
1.         Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly.
2.         Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.         Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.         Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Atang Abdul Hakim, 2008: 251)
c.              Tiga Realitas
Descartes menegaskan adanya tiga realitas atau substansi bawaan (ide-ide bawaan). Adapun ketiga realitas tersebut adalah :
1.         Realitas pikiran atau kesadaran (res cogitan). Descartes menyebutkan bahwa pikiran sebagai ide bawaan sudah ada sejak kita dilahirkan. Selain itu, pikiran adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Sebab, pikiran bukanlah materi, melainkan jiwa yang berbeda dengan materi.
2.         Realitas perluasan atau materi (res extensa). Materi merupakan keluasan yang mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi serta tidak memiliki kesadaran. Bagi Descartes, walaupun terkadang menampakkan kesan yang menipu dan tidak selalu sempurna atau berubah, tetapi materi sudah ada sejak semula. Karena itu, materi menunjukkan sebuah ide bawaan.
3.         Realitas Tuhan. Tuhan merupakan wujud yang seluruhnya sempurna. Adanya realitas Tuhan ini dikarenakan adanya kesadaran memiliki ide tentang yang sempurna, dan ketidaksempurnaan materi mengandalkan adanya yang sempurna. Yang sempurna itu adalah Tuhan. Karena itu, Tuhan termasuk ide bawaan.
Spinoza (1632-1677)
a.              Tentang Substansi Tunggal
Baruch de Spinoza menolak tiga realitas atau substansi yang dipercayai oleh Descartes. Penolakannya itu didasarkan pada definisi mengenai substansi. Ia mendefinisikan substansi adalah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa membutuhkan sebab yang lain, atau ada dengan dirinya sendiri, bahkan tidak tergantung pada yang lain. Jika dalam realitas terdapat dua substansi yang berasal dari satu substansi, sebagaimana diyakini Desartes, hal itu sangat tidak masuk akal. Pasti substansi hanyalah satu. Oleh sebab itu, Spinoza dengan definisi substansi tersebut, menyakini bahwa substansi itu tunggal. Tidak ada substansi yang berasal dari substansi lain.
b.              Tuhan atau Alam (Deus suve Natura)
Menurut Spinoza, substansi tunggal itu adalah Tuhan. Bagi Spinoza, sebagaimana substansi, Tuhan itu tunggal, abadi, tidak terbatas (universal), tidak tergantung pada yang lain, mutlak, dan utuh. Spinoza mengajarkan, apabila Tuhan sebagai satu-satunya substansi, maka harus dikatakan bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat materi (tubuh, pohon, batu, planet, dan materi laninnya) maupun jiwa (pemikiran, kesadaran, perasaan, dan kehendak), berasal dari Tuhan. Sebab, materi dan jiwa tidak berdiri sendiri dan bukanlah substansi, tetapi berasal dari serta tergantung pada substansi tunggal, yaitu Tuhan.
Spinoza menganggap materi dan jiwa hanyalah modi (cara) berada Tuhan sebagai substansi tunggal. Oleh karena itu, pada dasarnya, alam semesta dan segala isinya identik dengan Tuhan, atau tidak ada perbedaan hakiki antara Tuhan dan alam. Pendapat yang menyamakan antara Tuhan dan alam ini desebut sebagai panteisme.[3] (Masykur Arif Rahman, 2013: 248)
Leibniz (1646-1716)
Tentang Monad-Monad (Monadologi)
Gottfried Wilhelm von Leibniz tidak meyakini adanya tiga substansi seperti yang diyakini Descartes. Ia juga tidak percaya dengan satu substansi sebagaimana yang dipercaya Spinoza. Baginya, tidak hanya ada satu atau tiga substansi di alam ini, tetapi ada banyak substansi, atau substansi itu jumlahnya tidak terhingga.
Spinoza menyebut substansi yang banyak itu sebagai monad (monos = satu; monad = satu unit). Monad bukanlah materi terkecil yang mempunyai bentuk dan keluasan, melainkan murni bersifat metafisik atau spiritual. Karena itu, sebagai substansi yang nonmaterial, monad memiliki beberapa sifat, diantaranya :
1.         Abadi, artinya tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan.
2.         Tidak bisa dibagi (ini bertentangan dengan substansi keluasan Descartes yang bisa dibagi-bagi).
3.         Berdiri sendiri atau individual. Artinya, monad yang satu dengan monad yang lain tidak identik atau tidak sama (ini bertentangan dengan substansi Spinoza yang mengidentikkan antara Tuhan dan alam).
4.         Tertutup. Mengenai sifat ini, menunjuk pada kata-kata Leibniz sendiri. Ia mengatakan bahwa monad-monad itu “tidak berjendela yang membuat sesuatu bisa masuk atau keluar.”
5.         Memiliki hasrat dan keinginan yang muncul dalam dirinya sendiri.
Leibniz menyebutkan adanya monad pertama, yaitu Tuhan. Monad pertama ini tidak terbatas dan menciptakan monad-monad yang terbatas. Tuhan, sebagai monad pertama, pada saat penciptaan, mengadakan “harmonie preetablie” (keselarasan yang ditetapkan sebelumnya) di antara monad-monad terbatas ciptaan-Nya sebagaimana terlihat dalam kehidupan. Jadi, adanya keselarasan, keteraturan, dan interaksi di dunia disebabkan oleh perantara Tuhan yang menciptakan harmoni di antara monad-monad. Tuhan, dalam pandangan Leibniz, memiliki kekuasaan penuh terhadap ciptaan-Nya. Jika Tuhan sudah berkehendak, walaupun ciptaan-Nya juga memiliki kehendak, kehendak ciptaan-Nya akan dikalahkan oleh kehendak Tuhan yang menciptakannya. (Masykur Arif Rahman, 2013: 252)
2.   EMPIRISME (LOCKE – HUME)
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan rasionalisme. (Ahmad Tafsir, 2013: 173)
John Locke (1632 – 1704)
Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan ide atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman. Sebab, sebelum manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio seperti tabula rasa (kertas putih kosong). Dengan contoh lain, bagi Locke, pikiran ibarat papan tulis yang masih polos dan kosong sebelum guru masuk kelas.
Proses Memperoleh Pengetahuan
Bagaimana proses memperoleh pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman itu? Pertama-tama sebelum manusia mengetahui sesuatu, ia melakukan proses pengindraan, pengamatan, atau observasi terhadap dunia di luar dirinya, seperti mengamati keluasan, warna, dan bau, serta mendengarkan sesuatu. Segala sesuatu yang ditangkap dari dunia luar melalui indra, oleh John Locke disebut “pandangan sederhana” atau “ide-ide sederhana” (simple ideas).
Selanjutnya, pandangan sederhana atau ide-ide sederhana itu terolah di dalam pikiran dengan cara digabung-gabungkan dan diabstraksikan, sehingga menghasilkan “pandangan kompleks” atau “ide-ide kompleks” (complex ideas), seperti ide kemanusiaan, keadilan, pepohonan dan lainnya.
Contoh sederhana mengenai pandangan John Locke tersebut ialah : pertama-tama seseorang mengamati “ide-ide sederhana”, seperti materi, manis, berair dan berwarna kemerahan yang terdapat pada suatu objek. Kemudian, ide-ide sederhana itu digabungkan dan diabstraksikan menjadi “ide kompleks”, sehingga menghasilkan nama “buah anggur”. Nama “buah anggur” yang tak lain adalah ide kompleks merupakan hasil penggabungan dari ide-ide sederhana tadi. Jadi, “ide kompleks” merupakan kumpulan dari “ide-ide sederhana” yang didapat dari pengalaman. Dengan demikian, ide kompleks yang oleh kaum rasionalis sering disebut sebagai ide bawaan sebenarnya juga adalah dari pengalaman.[4] (Masykur Arif Rahman, 2013: 265)
David Hume (1711 – 1776)
Hume menolak anggapan kaum rasionalis yang meyakini bahwa manusia mempunyai ide-ide bawaan. Baginya, manusia tidak memiliki ide-ide bawaan. Pengetahuan atau kesadaran yang terbentuk dalam diri manusia berasal dari pengalaman indrawi. Tak ada pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman indrawi. Menurutnya, pengetahuan yang berasal dari pengalaman indrawi diperoleh melauli persepsi, yang terdiri dari dua unsur, yaitu :
1.     Kesan (impressions). Kesan diperoleh melalui pengalaman langsung (ketika sedang terjadi). Kesan ini sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Misalnya, ketika tangan menyentuh api, maka tangan akan langsung terasa panas. Inilah yang dimaksud kesan itu jelas, hidup dan kuat.
2.     Gagasan (ideas). Gagasan lahir karena adanya penggabungan, persekutuan atau pertautan antara kesan-kesan yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan demikian, “gagasan” diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman yang berbentuk “kesan”. Dengan kata lain, “kesan-kesan” yang ditangkap melalui pengalaman langsung selanjutnya diproses di dalam akal lewat refleksi, berpikir, menghubungkan, mengingat, membandingkan, berfantasi dan lain sebagainya, sehingga membentuk sebuah “gagasan”.
Rasionalisme memahami bahwa pada setiap benda, terdapat substansi. Misalnya, pada manusia, substansinya disebut “pikiran”. Namun, menurut Hume, “pikiran” bukanlah substansi, karena “pikiran” pada dasarnya hanyalah sekumpulan kesan yang datang silih berganti dan terus menerus. Pernyataan Hume tersebut bermakna bahwa “pikiran” tidak dapat dikatakan sebagai substansi, karena “pikiran” bukanlah subjek yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian karena ”pikiran” baginya hanyalah sekumpulan kesan belaka, seperti perasaan sedih, sakit, dingin, panas, takut, bahagia dan lainnya. Semua itu hanyalah sekumpulan kesan yang oleh sebagian manusia dianggap sebagai substansi.
Prinsip sebab akibat (kausalitas) atau hukum alam sudah menjadi kepercayaan yang mengakar kuat sejak lama, baik dalam filsafat, agama, maupun sains. Misal, jika terjadi peristiwa A, maka akan terjadi peristiwa B. Menurut Hume, konsep kausalitas yang didasarkan pada hubungan yang niscaya antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka. Bagi Hume, yang disebut kausalitas hanyalah sebuah urutan kejadian. Sebab, di dalam konsep kausalitas, tidak ada prinsip yang dijadikan dasar penghubung antarperistiwa. Dengan kata lain, dalam konsep kausalitas, tidak ada yang niscaya, yang ada hanyalah pengalaman mengenai urutan kejadian. Karena itu, Hume menolak kausalitas.[5] (Masykur Arif Rahman, 2013: 276)
  1. KRITISME
Aliran ini muncul abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Zaman baru ini disebut zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, setelah Kant mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar manusia, demi kemajuan atau peradaban manusia.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat, dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Di sisi lain, jalanya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton (1642-1772) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi, yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis.
Gerakan ini dimulai di Inggris, kemudian ke Prancis, dan sselanjutnya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk ke Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme semakin beerlanjut. Masingh-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah, siapa yang sebenarnya dikatakan sebagai sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri?
Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menrimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme terkandung skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.
Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya menggunakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empirii).
Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.
  1.  IDEALISME
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat  yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi.
Setelah Kant mengetengahkan kemampuan akal manusia, maka para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasanya karena akal murni tidak akan dapat mengenai hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu, dicarinya suatu dasar, yaitu suatu sisitem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan : aku sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang keseluruha yang ada.
Pelopor Idealisme J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembanganya pada Hegel.[6]. Pengaruhnya begitu besar sampai luar Jerman. Menjadi profesor ilmu filsafat sampai meninggal. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia tidak puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa didunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah  secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasanya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan). Kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antitesis dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai dialetika. Proses dialetika inilah yang menjelaskan segala peristiwa. (Asmoro Achmadi, 2013;118)
  1.  POSITIVISME
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata “positif” disisni sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian filasafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, ternasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang di cita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Hendi Suhendi, 2008:296)
Ada tiga pengertian umum positivisme[7].
1.       Positivisme legal ialah suatu teori yang menyatakan, bahwa hukum negara berdasar pada keinginan pemilik kekuasaan negara tersebut. Pertama-tama pendapat ini menyatakan bahwa legislasi dan pengakuan otoritas atas keputusan yudisial.
2.       Positivisme moral atau positivisme moral teologis, dikenal dengan nama voluntarisme teologis ialah suatu teori yang menyatakan bahwa perintah-perintah arbitrer Tuhan melakukan tindakan-tindakan tertentu tentang benar atau salah.
3.       Filsafat positivisme dimulai dengan August Comte dengan filsafat positif dan positivismennya digunakan untuk merancang pandangan dunia yang merangkum masalah-masalah dalam kehidupan ilmu modern, serta menolak superstisi, religi dan metafisika sebagai bentuk pikiran pra-ilmiah yang akan menyerahkan kepada ilmu positif sebagai kemanusiaan meneruskan kemajuannya. ( Sutardjo A. Wiramihardja, 2006:145)
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala yang dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) kemasa depan.
Salah satu tokohnya adalah August Comte[8] (1798-1857). Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau positif.
Pada tahap teologis manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Disini manusia percaya kepada kemungkinan adannya sesuatu yang mutlak. Artinya, dibalik setiap kejadian tersirat adannya maksud tertentu.
Pada tahap metafisis manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam. Satu manifestasi yang serupa dinyatakan dalam Declaration of Independent :”Kita menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri...” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
Pada tahap ilmiah atau positif. Manusia telah memulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan toelogis dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan yang dengan memakai akal. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak, semangat positivisme memperlihatkan keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau dan diperluasa. Akal budi penting, seperti dalam metode metafisik, tetapi harud dipimpin oleh data empiris. Analisis rasional mengenai data empiris, akhirnya memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik.
Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga dibidang ilmu pengetahuan.
August Comte berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal altrusim yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. (Asmoro Achmadi, 2013:120)
  1.  EVOLUSIONISME
Aliran dipelopori oleh seorang Zoologi yang mempunyai pengaruh sampai saat ini  yaitu, Charles Robbets Darwin (1809-1882).[9]
Pada tahun 1938 membaca bukunya Malthus An Essay on the Prinsiple of Population. Buku tersebut memberikan inspirasi kepada Darwin untuk membentuk kerangka berpikir dari teorinya. Menurut Malthus, manusia akan cenderung meningkat jumlahnya (deret ukur), diatas batas bahan-bahan makanan (deret ukur). Dengan demikian, Darwin memberikan kesimpulan bahwa untuk mengatasi hal tersebut manusia harus bekerja sama, harus berjuang diantara sesamanya untuk mempertahankan hidupnya. Karena itu hanya hewan yang ulet yang mampu untuk menyesaikan diri dengan iklim sekitarnya.
Dalam pemikirannya, ia mengajukan konsepnya tentang perkembangan tentang segala sesuatu termasuk manusia yang di atur oleh hukum-hukum mekanik, yaitu survival of the fittest dan struggle for life.
Pada hakikatnya antara manusia dan binatang dan manusia dan benda apapun tidak ada bedanya. Dimungkinkan terdapat perkembangan manusia pada masa yang akan datang lebih sempurna. Dalam pemikirannya, Darwin tidak melahirkan sistem filsafat, tetapi pada ahli pikir berikutnya Herbert Spencer[10] berfilsafat berdasarkan pada evolusionisme.
Dalam tulisan utamanya “System of Synthetic Philosophy”, asas evolusi itu dimasukkannya ke dalam jenis ilmu pengetahuan. “Darwinisme” dan “evolusionisme: menjadi slogan terhadap suatu pandangan dunia yang melampaui maksud Darwin.
Dalam “First Principles”, ia menyatakan bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah fenomena luar, meskkipun melalui argumentasi kita dapat menduga yang tidak dapat diamati. Melalui argumennya, ia meyakini bahwa di balik fenomena luar terhadap potensi yang menjadi sumber seluruh fenomena luar. Dan itu adalah evolusi, ialah hukum yang mengatur proses saling menyempurnakan antara materi dan gerakan. Masalah hubungan saling memengaruhi antara potensi dan lingkungan, ia ditulis sebagai prinsip biologi dan psikologi.( Sutardjo A. Wiramihardja, 2006:144)
7.       MATERIALISME
        Munculnya positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap aspek kerohanian. Perbedaan antara materialisme dengan positivisme adalah bahwa positivisme membatasi diri pada fakta-fakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap keterangan yang melampaui fakta-fakta. Karena alasan itulah dalam rangka positivisme tidak ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan bahwa realitas seluruhnya tediri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material/ kiranya sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan metafisika, karena materialisme sendiri berdasarkan suatu metafisika. (K. Bertens, 1981 : 77)
        Aliran filsafat materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Freuerbach (1804-1872 M). Menurutnya hanya alamlah yang ada dan manusia merupakan bagian dari alam
Dalam pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu. Akan tetapi, materialisme berpandangan bahwa pada akhirnya dan pada prinsipnya, manusia hanyalah sesuatu yang materiil. Dengan kata lain, materi betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu atau pohon, namun pada eksistensinya, manusia sama dengan sapi. (Atang Abdu Hakim, 2008 : 361)
        Julien de Lamettrie (1709-1751) mengemukakan pemikirannya bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya dianggap sebagai mesin. Buktinya, bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada. Jantung katak yang dikeluarkan dari tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja.
        Seorang tokoh (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feueurbach[11] (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama/metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya. (Muzairi, 2009 : 1390-1340)
Aliran-aliran dalam materialisme
        Materialisme tidak seluruhnya dari dulu sampai sekarang dalam satu konsep pendapat yang tetap dan sama. Akan tetapi, materialisme mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Adanya aliran dalam materialisme tersebut hanya terbatas dalam pemikiran atau ide-ide saja yang disebabkan oleh adanya pendekatan yang berbeda. Adapun aliran-aliran tersebut adalah :
1.      Materialisme mekanik (mekanisme)
                Dalam arti sempit, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak.
                Bagi seorang pengikut aliran materialisme mekanik, semua perubahan dunia, baik perubahan yang menyangkut atom atau perubahan yang menyangkut manusia, semuanya bersifat kepastian semata-mata. Terdapat suatu rangkaian sebab-musabab yang dijelaskan dengan prinsip-prinsip sains alam semata-mata. Materialisme mekanik merupakan doktrin yang mengatakan bahwa alam itu diatur oleh hukum-hukum alam yang dapat diruangkan dalam bentuk-bentuk matematika jika data-datanya telah terkumpul. Seorang pengikut aliran materialisme mekanik berpendirian bahwa semua fenomena dapat dijelaskan dengan cara yang dipakai dalam sains fisik.
                Dasar-dasar materialisme dibentuk oleh sains matematika dan fisika. Prinsip-prinsip penjelasan tersebut kemudian dipakai oleh ilmu-ilmu: biologi, psikologi, dan ilmu masyarakat.

2.      Materialisme dialektika
                Materialisme dialektika merupakan ajaran Karl Marx[12]. Materialisme dialektik timbul dari perjuangan sosial yang hebat, yang muncul sebagai akibat dari Revolusi Industri.
                Pandangan materialisme yang menyatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi, berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses materiil. Dalam filsafat Marx, tampak ada pandangan dualistik, yaitu ia menganggap bahwa ala mini terdiri dari dua kenyataan, yaitu materi dan idea tau kesadaran (conciousness). Materi diartikan sebagai segala sesuatu yang berupa objek atau kegiatan kerohanian manusia yang meliputi pikiran, perasaan, kemauan, watak.
                Prinsip dalam aliran materialisme dialektika memandang bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri dari segala sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah-pisah, tetapi merupakan satu keseluruhan yang bulat daan saling berhubungan. Alam ini bukan suatu yang diam, tetapi selalu dalam keadaan bergerak terus-menerus dan berkembang. Dalm proses perkembangannya, pada alam semesta ini terdapat perubahan kuantitas dan kualitas dan sebaliknya.
                Secara singkat ciri-ciri materialisme dialektika adalah mempunyai asas gerak, asas saling berhubungan, asas perubahan kuantitas dan kualitas. (Atang Absul Hakim, 2008 : 369-371)

3.      Materialisme historis
                Perkembangan sejarah manusia dan masyarakat pun tunduk dan mempunyai watak yang materialistik idealektis. Oleh sebab itu, bila teori itu diterapkan pada gejala masyarakat, tumbullah apa yang dinamakan metarialisme historis.
                Disini pikiran dasar ialah bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang material. Jika sebagai contoh kita memilih pengolahan tanah maka perkembangan sarana-sarana produksi adalah umpamanya : tongkat, pacul, bajak, mesin. Biarpun sarana-sarana produksi sendiri merupaakan buah hasil pekerjaan manusia. Namun arah sejarah tidak tergantung dari kehendak manusia. (K. Bertens, 1981 : 80-81)
8.       NEO- KANTIALISME
Setelah materialisme pengaruhnya merajalela, para murid Kant mengadakan gerakan lagi. Banyak filosof Jerman yang tidak puas terhadap Materialisme, Positivisme, dan Idealisme. Gerakan ini disebut Neo-Kantialisme. Tokohnya antara lain Wilhelm Windelband (1848-1915), Herman Cohen (1842-1918), Paul Natrop (1854-1924), Heinrich Reickhart (1863-1939).
Herman Cohen[13] memberikan titik tolak pemikirannya mengemukakan bahwa keyakinannya pada otoritas akal manusia untuk mencipta. Mengapa demikian, karena segala sesuatu itu baru dikatakan ‘ada’ apabila terlebih dahulu dipikirkan. Artinya, ‘ada’ dan ‘dipikirkan’ adalah sama sehingga apa yang dipikirkan akan melahirkan pikiran. Tuhan, menurut pendapatnya, bukan sebagai person, tetapi sebagai cita-cita dari seluruh perilaku manusia. (Asmoro Achmadi, 2012 : 124)
  1. FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu. Kebalikannya kenyataan juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti di atas berbeda dengan yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak harus berupa kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dlam dirinya sendiri seperti apa adanya.
Dan yang lebih  penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis. Pemikiran yang demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan positif. Tokohnya : Edmund Husserl (1874-1928).
Edmund Husserl (1839-1939) lahir di Wina. Ia belajat ilmu alam, ilmu falak, matematika, kemudian filsafat. Akhirnya menjadi guru besar di Halle, Gottingen, Freiburg.
Pemikirannya, bahwa objek atau benda harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskriptif fenomenologis yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya adalah untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif artinya mengkhayalkan gejala-gejala dalam berbagai macam yang berbeda.nsehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga akan muncul unsure yang tidak berubah-ubah yaitu hakikat. Inilah yang dicarinya dalam metode variasi eidetis.
  1. EKSISTENSIALISME
Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = ke luar, dan sistensi atau sisto = berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan sampai merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasaekan pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pelopornya adalah Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger,J.P. Sartre, Karl Jaspers, Gabriel Marcel.
Pemikiran Soren Kierkegaard mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensu yang individu, yang konkret. Karena, eksistensi manusia penuh dengan dosa, hnya iman kepada kristus sajalah yang dapat mengatasi perasaan bersalah karena dosa.[14]
Martin Heidegger (1905 M)
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis. Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah  keberadaan manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia , mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia disebut desein (berada di sana, di tempat), berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada, Desein manusia di sebut juga eksistensi.
Keberadaan manusia, yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang ada di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.
Sebenarnya benda-benda pada dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab, benda-benda itu tidak dapat saling menjamah. Karena manusia berada di dalam dunia, ia seibu dengan dunia, mengerjakan dunia atau mengusahakan dunia dan sebagainya.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsein (berada bersama-sama). Karena itu, manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar pada tiga hal asasi, yaitu: befindichkeit (kepekaan), verstehen (memahami), dan rede (kata-kata, bicara).
Kepekaan diungkapakan dalam bentuk perasaan: senang, kecewa atau takut. Perasaan itu timbul karena kebersamaannya dengan yang lain, ia dihadapkan kepada dunia sebagai nasib, di mana sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita serba terbatas.
Yang dimaksud dengan mengerti atau memahami ialah bahwa manusia yang dengan kesadaran akan beradanya di antara keberadaan lain-lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan  kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya bagi memberi arti dan manfaat pada dunia dalam kemungkinan-kemungkinannya. Dengan begitu, manusia, dengan pengertiannya, merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan sendiri dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia.
Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia. Secara aprioro, manusia telah memiliki daya untuk berbicara. Ia adalah makhluk yang dapat terbicara. Sambil berbicara, ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan dalam rangka rencana yang diarahkan ke arah tertentu.
Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparkan ke dalam keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaannya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya, tetapi dlaam kenyataannya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang timbul dari Geworfenheid atau situasi terlemparnya itu.
Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin didalam perasaan dan emosi. Diantara suasana batin atau perasaan-perasaan itu, yang terpenting ialah rasa cemas. Latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa bahwa seluruh hidup kita tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup sehari-hari, manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Akan tetapi, justru karena itu, manusia memiliki kemungkinan untuk keluar dari eksistensi yang tidak sebenarnya itu, keluar dari belenggu oleh pendapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah cara menemukan diri sendiri. Di sini, orang akan mendapatkan pengertian atau pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia. (Ahmad Syadali adn Mudzakir, 2014: 128-130)
J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun 1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928 M. Setelah tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di paris maupun tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935, ia menjadi mahasisiwa peneliti pada institut Francais di berlin dan di universitas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit novelnya yang berjudul La Nausee, sedangkan Le Mur terbit pada tahun 1939 M. Sejak itu, muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya harus ada esensinya lebih dahulu sebelum keberadaannya. Bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Satre? Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak di sebut bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri.
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari pertumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. didalam filsafat idealisme, wujud nyata di anggap mengikuti hakikat. Jadi, hakikat manusia mempunyai ciri lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Formula ini erupakan prinsip utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme.
Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia mmiliki kebebasan yang bersifat otonom. Dalam hal itu, ia selalu dalm situasi yang ditentukan oleh kejasmaniaannya. Dari luar, ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya. Didalam pertemuannya dengan manusia lain, manusia mungkin bersifat dua macam. Yang lain itu merupakan objek baginya, jadi sebagian dia mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku ini membentuk diri terutama dalam hubungan aku-engkau ini. Dalam hubungan ini kesetiaan lah yang menentukan segalagalanya. Jika aku percaya kepada orang lian, setialah aku terhadap orang lin itu, dan kepercayaan ini menciptakan diri aku itu. Setia itu hanya mungkin karena orang merupakan bagian dikau yang mutlak(Tuhan) kesetiaan yang menciptakan aku ini pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Tuhan.
Manusia bukanlah manusia yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses).ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak berada. Oleh karena itu, manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetian ada kepastian bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajara Marcel. Harapan ini menunjukkkan adanya Engkau Yang Tertinggi, yang tidak dapat dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat ditemukan di dalam penyerahan seperti halnya kita menemukan Engkau atas sesama kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan pertisipasi dalam berada yang sejati.[15]
  1. PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmastisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan bermanfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan , menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apa pun yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadharatan , tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan tidak dapat dikategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah  William James dan John Dewey  dan Charles Sanders Peirce.
1.       William James  (1842-1910)[16]

Pandangan filsafatnya, di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktik, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Nilai konsep atau pertimbangan kita, bergantung pada akibatnya, pada kerjanya. Artinya bergantung pada keberhasilan perbuatan yang disiapakan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar bila bermanfaat bagi pelakunya memperkaya hidup dan kemungkinan-kemungkinannya.
2.       John Dewey  (1859 M)
Sebagai pengikut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.
Menurutnya tak ada satupun yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami  kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berpikir merupakan alat  (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil-tidaknya memengaruhi kenyataan. Satu-satunya  cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea pada Plato, pengertian umum pada Socrates , definisi pada Aristoteles), juga kebimibangan  terhadap realitas objek indra (pada Descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa yang real ada.
3.       Charles Sanders Peirce
Charles mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis (dugaan sementara/ pegangan dasar) itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American literary thought(1974) menjelaskan bahwa peirce memformulasikan (merumuskan) tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme sebagai berikut :
a.       Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini manusia.
b.       Bahwa apa yang kita namakan “universal “ adalah yang pada akhirnya setuju dan mnerima keyakinan dari “community of knowers “
c.       Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat(komunitas).
12. FILSAFAT HIDUP
Menurut Bergson[17], hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan materi (yaitu sesuatu yang lamban yang menentang gerak dan dipandang oleh akal sebagai materi atau benda). Manakala gerak perkembangan hidup itu digambarkan sebagai gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan gerak ke atas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup mempunyai penahanan gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedangkan sebagian lainnya teta memiliki kecakapannya untuk berbuat secara bebas dan dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi.
Bergson yakin akan adanya revolusi, tetapi tidak seperti yang diajarakan Darwin. Evolusi yang menggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear (segaris), yang satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson, evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya terus-1menerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan kekayaan baru. Evolusi ini tidak terikat oleh keharusan seperti keharusan yang tersirat dalam hukum sebab-akibat mekanisme. Evolusi demikian menurut Bergson bukan bergerak ke satu arah di bawah dorongan suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi itu berkembang ke arah bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan, perkembangan itu bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran. Pada binatang, perkembangan itu berhenti dalam naluri, sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung sampai ke akal.
1.       Naluri
Naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis tertentu dengan cara tertentu. Kerja naluri terjadi otomatis, tanpa memberi tempat pada spontanitas atau pembaharuan. Naluri semata-mata diarahkan pada kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual ditaklukkan kepada sifat kelompok.
2.       Akal
Akal yang dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu. Akan tetapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan segala kenyataan. Sebab, akal adalah hasil perkembangan, yaitu perkembangan dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia. Dengan akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu, akal memiliki fungsi praktis. Itulah sebabnya, akal tidak dapat menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan. Akal hanya berguna bagi pemikiran ilmu fisika dan mekanika, tetapi akal tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat segala sesuatu.
3.       Intuisi
Intuisi diperlukan untuk menyelami hakikat segala kenyataan. Intuisi adalah tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaska diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Atau Intuisi merupakan naluri yang telah mendapat kesadaran diri , yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas.
4.       Agama
Bergson membagi agama pada dua macam: pertama, agama statis, dan kedua, agama dinamis.
a.       Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil karya perkembangan. Dalam perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya, manusia tahu bahwa ia harus mati. Karena akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintangan-rintangan yang tak terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah, akhirnya timbul agama sebagai alat bertahan terhadap segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa.
b.      Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang lebih tinggi yang lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri. Bentuk agama yang paling tinggi adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam agama kristen. Itulah filsafat hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di perancis. Ketika ia membahas agama kristen, yang berarti sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling tinggi.
Bagi Bergson, filsafat adalah kesadaran dan refleksi yang merujuk pada data yang langsung diperoleh dari intuisi. Ia mengklasifikasikan akal sebagai suatu fakulti personal, sambil menekankan bahwa setiap filosof secara sadar terlebih dahulu mengikutu titik pandang yang dipilihnya. Ia menganggap filosof sebagai orang yang menghadapi pemikiran yang esensial untuk menemukan kondisi-kondisi dari totalitas pengetahuan. (Hendi Suhendi, 2008;399-400).


C.       Sebab Keruntuhan Filsafat Modern
Proyek filsafat modern yang ingin menguasai dunia lewat satu pemikiran rasional dan utuh, setelah dievaluasi oleh beberapa filsuf, ternyata diketahui mengandung kelemahan. Tak heran jika kemudian bermunculan filsuf-filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern tersebut. Fenomena ini, oleh beberapa kalangan diangggap sebagai suatu periode baru dalam sejarah filsafat, yaitu periode yang disebut postmodern. Lalu, para filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern dikatakan sebagai tokoh-tokoh filsafat postmodern.
D.      Tinjauan Kritis
Kelebihan dan Kekurangan Aliran-aliran Filsafat
1.       Rasionalisme
Kelebihan :
o  Mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan :
o  Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.
o  Cara memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
2.       Empirisme
Kelebihan :
o  Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Kelemahan:
o  Indra terbatas, Indera menipu, Objek yang menipu, Indera dan objek sekaligus.
3.       Positivisme
Kelebihan :
o  Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
o  Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
o  Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
Kelemahan :
o  Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
o  Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
4.       Pragmatisme
Kelebihan :
o  Membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi.
o  Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis.
Kelemahan :
o  Filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
o  Pagmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
5.       Realisme
Kelebihan :
o  Tidak bergantung pada segala pengetahuan.
Kelemahan :
o   Menganggap bahwa realitas itu  tidak sekedar apa yang dapat dilihat secara real, tetapi realitas itu adalah pemikiran atau ide-ide.
6.       Idealisme
Kelebihan :
o  Meningkatkan daya pemikiran dari segi menghasilkan ide yang benar dan boleh dipakai.
Kelemahan :
o  Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
7.       Materialisme
Kelebihan :
o  Mengganggap materi itu berada di atas segala-galanya.
Kelemahan :
o  Memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
o  Melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah.
8.       Eksistensialisme
Kelebihan:
o  Mengerti akan semua realitas.
o  Mengetahui pengetahuan tentang manusia.
Kekurangan :
o  Mengabaikan Perintah Tuhan.
o  Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.

Adapun penemuan yang terdapat dalam zaman modern adalah:
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh usaha besar dari Descartes untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (Zaman Modern). Adapun penemuan yang terdapat dalam zaman modern adalah:
·       Setelah Galileo, Fermat, Pascal, dan Kepler berhasil mengembangkan penemuan dalan bidang ilmu, pengetahuan jatuh ke tangan Isaac Newton (1643-1727) dan Leibniz (1646-1716).
·       Newton melahirkan Teori Gravitasi, perhitungan Calculus dan Optika. Teori Gravitasi Newton dimulai ketika muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas lurus. Setelah Calculus ditemukan banyak sekali perhitungan dan pemeriksaan ilmiah dapat diselesaikan.
·       Joseph Black (1728-1799) dikenal sebagai pelopor dalam pemeriksaan kualitatif, ia menemukan CO2. Hal ini berkaitan dengan perkembangan ilmu kimia yang melandasi Revolusi Industi terutama di Inggris yang kemudian meluas diseluruh benua Eropa.
·       Setelah Thomson menemukan electron, mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika, yaitu fisika nuklir, yang dapat mengubah bermacam-macam atom.

Epistemologis perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan selama masa modern sangat mempengaruhi dan mengubah manusia dan dunianya. Terjadilah revolusi I (dengan pemakaian mesin-mesin mekanis), lalu revolusi II (dengan pemakaian listrik dan titik awal pemakaian sinar-sinar), dan kemudian revolusi III yang ditandai dengan penggunaan komputer yang sedang kita saksikan dewasa ini. Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peranan penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia. Tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad 17-19 M):
·       Sir Isaac Newton (1643-1727 M)
·       Leibniz (1646-1716 M)
·       Joseph Black (1728-1799 M)
·       Joseph Prestley (1733-1804 M)
·       Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M)
·       J.J. Thompson
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
Secara singkat dapat ditarik ringkas ilmu-ilmu yang lahir saat itu. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekologi, kalkulus, dan statistika. Pada zaman modern ini terjadi revolusi industri di Inggris, sebagai akibat peralihan masyarakat agraris dan perdagangan abad pertengahan ke masyarakat industri modern dan perdagangan maju.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad ke-18 itu. Sehingga mucullah beberpapa aliran diantaranya rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, positivisme, evolusionisme, materialisme, Neokantianisme, pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, dan Eksistensialisme.
Dan penyebab Keruntuhan Filsafat Modern ialah  Proyek filsafat modern yang ingin menguasai dunia lewat satu pemikiran rasional dan utuh, setelah dievaluasi oleh beberapa filsuf, ternyata diketahui mengandung kelemahan. Tak heran jika kemudian bermunculan filsuf-filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern tersebut. Fenomena ini, oleh beberapa kalangan diangggap sebagai suatu periode baru dalam sejarah filsafat, yaitu periode yang disebut postmodern. Lalu, para filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern dikatakan sebagai tokoh-tokoh filsafat postmodern.

B.    SARAN
Materi dalam makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan didalamnya baik dalam hal sistematika penulisan maupun isi. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.









DAFTAR PUSTAKA

Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, Rajawali Pers,  Jakarta:2013.
A. Wiramihardja Sutardjo, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung:2006.
Hakim, Atang Abdul, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1981.
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras, 2009.
Rahman, Masykur Arif, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.





[1]Kata Bapak diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya.
[2]Di dalam karyanya inilah, ia menyatakan ketidakpuasannya atas filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan penyelidikannya. Dalam bidang ilmiah, tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti. Semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga. Satu-satunya pengecualian adalah ilmu pasti. Demikian menurutnya,
[3]Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak terbatas (ultimate).
[4]Karena pandangannya itu, John Locke masuk dalam barisan filsuf empirisme, yang meyakini bahwa  pengetahuan didapat berdasarkan pengalaman, dan pengalaman di sini adalah pengalaman indrawi.
[5]Menurut para penulis sejarah flsafat, empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya.
[6]Hegel lahir di Stuttgart, Jerman
[7] Suatu aliran yang berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolak metafisika.
[8] Ia lahir di Montepellier, Prancis, tahun 1798. Keluarganya beragama katholik yang berdarah bangsawan. Meskipun demikian, Auguste Comte tidak terlalu perduli dengan kebangsawaanya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Ketika terjadi pergolakan-pergolakan sosial, perang intelektual, dan politik, Auguste Comte merasakan dan banyak mengalami peperangan politis saat itu. Di kalangan tema-temannya, Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. August Comte dalam Sebuah karyanya adalah Cours De Philosophia Positive (kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam menciptakan ilmu sosiologi.

[9] Ia mendominasi pemikiran filsafat abad ke-19.
[10] Ia ahli sosiologi dan psikologi yang terkenal pada akhir abad ke-19.
[11] Ludwig Andreas von Feuerbach (lahir di Landshut, Bavaria, 28 Juli 1804 – meninggal di Rechenberg dekat Nürnberg, Kekaisaran Jerman, 13 September 1872 pada umur 68 tahun) adalah seorang filsuf dan antropolog Jerman. Ia adalah anak laki-laki keempat dari hakim terkemuka Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach.
Feuerbach lulus dari Universitas Heidelberg dan bermaksud untuk melanjutkan kariernya di Gereja. Karena pengaruh Prof. Karl Daub ia kemudian mengembangkan minat dalam filsafat Hegel yang dominan waktu itu dan, meskipun ditentang oleh ayahnya, ia melanjutkan ke Berlin untuk belajar di bawah bimbingan sang empu sendiri. Setelah belajar selama dua tahun, pengaruh Hegelian mulai melemah. Feuerbach kemudian berhubungan dengan kelompok yang dikenal sebagai Hegelian Muda, yang mensintesiskan cabang yang radikal dari filsafat Hegel. Tulisnya kepada seorang teman, "Aku tidak dapat lagi memaksakan diriku untuk mempelajari teologi. Aku rindu menyelami alam dalam jiwaku, alam yang di hadapan kedalamannya sang teolog yang kecil hati menjadi kecut hati; dan dengan manusia alamiah, manusia di dalam kualitas keseluruhannya." Kata-kata ini menjadi kunci bagi perkembangan Feuerbach. Ia menyelesaikan pendidikannya di Erlangen di Universitas Friedrich-Alexander, Erlangen-Nuremberg dalam studi ilmu alam.

[12] Karl Marx lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818. ayahnya, seorang pengacara, menafkai keluarganya dengan relatif baik, khas kehidupan kelas menengah. Orang tuanya adalah dari pendeta yahudi (rabbi). Tetapi, karena alasan isnis ayahnya menjadi penganut ajaran Luther ketika Karl Marx masih sangat muda. Tahun 1841 Marx menerima gelar doktor filsafat dari Universitas Berlin, Universitas yang sangat di pengaruhi oleh Hegel dan guru - guru muda penganut filsafat Hegel, tetapi berpikir Kritis. Gelar doktor Marx di dapat dari kajian filsafat yang membosankan, tetapi kajian itu mendahului berbagai gagasannya yang muncul kemudian. Marx menikah pada 1843 dan tak lama kemudian ia terpaksa meninggalkan jerman untuk dapt suasana yang lebih libaral di Paris.Perpecahan gerakan internasional tahun 1876, kegagalan dari berbagai gerakan revolusioner dan penyakit – penyakit, akhirnya membuat Marx ambruk. Istrinya wafat tahun 1881 dan anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883.
[13] Hermann Cohen lahir di coswig, jerman pada tanggal 4 Juli 1842 dan meninggal dunia pada tanggal  4 April 1918 di berlin, jerman. Hermann Cohen adalah seorang filsuf Yahudi Jerman, salah satu pendiri dari Marburg Sekolah Neo-Kantianisme, dan ia sering dianggap "mungkin filsuf Yahudi yang paling penting dari abad kesembilan belas"
[14] Asmoro Achmadi “Filsafat Umum” Raja Grafindo Persada:2014,hlm 126-128
[15] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani “Filsafat Umum”Pustaka Setia:2008, hlm 334-338
[16] James lahir di New York pada tahun 1842 M, dan merupakan putra dari Henry James, Sr, seorang yang terkenal berkebudayaan tinggi, dan pemikir yang kreatif. Ayahnya merupakan kepala rumah tangga yang menekankan kemajuan intelektual. Pendidikan formalnya mula-mula tidak teratur lalu ia mendapat tutor kebangsaan Inggris, Perancis, Swiss, Jerman, dan Amerika. Akhirnya, ia memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869. Akan tetapi , ia kurang tertarik pada praktik pengobatan, ia lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia kemudian mengajarkan anantomi dan fisiologi di Harvard. Tahun 1875 perhatiannya lebih tertarik pada psikologi dan fungsi pikiran manusia. Pada waktu itu, ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr, dan lain-lain. Tokoh dalam Metaphysical Club untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan evolusi. Di sinilah, ia mula-mula mendapat pengaruh Pierce dalam metode pragmatisme.
[17] Seorang tokoh berdarah campuran Perancis, Henri Bergson (1859-1941), melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi atas pandangan materialisme dan pragmatisme.

No comments:

Post a Comment